Masjid Kemayoran
Sebagai Kota Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur memiliki banyak bangunan bersejarah. Tiap bangunan menyimpan nilai histori meski tidak semua orang tahu ceritanya. Satu di antaranya adalah Masjid Kemayoran. Tempat ibadah umat Islam yang berada di Jalan Indrapura tersebut memiliki nilai sejarah karena dibangun pada era penjajahan Belanda. Masjid yang sebetulnya bernama Roudhotul Musawwaroh itu didirikan pada 1772. Usut punya usut, ternyata, Masjid Kemayoran atau Roudhotul Musawwaroh tidak dibangun di Jalan Indrapura. Mulanya, masjid itu berada di depan kantor gubernur Jatim atau di Jalan Pahlawan. Tepatnya di area Tugu Pahlawan. Subhan, salah seorang takmir Masjid Kemayoran, mengatakan bahwa keberadaan Masjid Roudhotul Musawwaroh dipermasalahkan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu. Pemerintah Belanda merasa terganggu keberadaan masjid tersebut. Mereka risi kalau di depan kantor mereka terdengar suara pengajian atau azan. Pemerintah Belanda pun meminta semua kegiatan warga di masjid itu dihentikan. Keinginan tersebut tentu saja langsung ditolak masyarakat. Bahkan, masyarakat marah. Akibatnya, terjadi pertempuran pada 1750. Subhan menuturkan bahwa pertempuran itu dipimpin oleh Kiai Badrun. Dia memaparkan bahwa Kiai Badrun merupakan kerabat Paku Alam V dari Kasunanan Surakarta. Jadi beliau masih memiliki keturunan ningrat (jpnn.com, 31/5/2015).
Dalam pertempuran tersebut, Kiai Badrun gugur karena tertembak oleh pasukan Belanda. Sebagai bentuk penghargaan atas kepemimpinannya melawan Belanda, masyarakat sekitar memberinya gelar Mbah Sedo Masjid. Meski demikian, konflik yang terkait dengan pemindahan masjid belum berhenti. Masyarakat terus melakukan perlawanan. Akhirnya, usaha itu membuahkan hasil. Belanda tidak lagi melarang aktivitas di Masjid Roudhotul Musawwaroh asal lokasi masjid dipindah. Jadi bisa dikatakan semacam dilakukan tukar guling tanah (jpnn.com, 31/5/2015).
Masjid Kemayoran memiliki disain dan arsitektur yang unik. Masjid ini bangunan intinya seluas sekitar 400 m2, di dalam ruang berbentuk hexagonal dengan ruang saling terhubung tembok berbentuk kubah, ditopang empat pilar utama. Bangunan inti berdinding marmer, berlantai keramik, langit flafon tinggi dan kusen pintu ukuran tebal dan tinggi (sebagaimana ciri bangunan lama). Disain interior sudah berkesan modern, dengan warna kehijauan muda, tetap mempertahankan mimbar beserta tongkat untuk khotib (Iwan Nugroho dalam kompasiana.com, 17/6/2018).
Di luar bangunan inti, atau berfungsi asalnya sebagai serambi, memiliki ruang yang lebih luas. Serambi ini juga untuk tempat sholat, dengan dua taman terbuka yang menambah kesejukan suasana masjid. Lantai serambi berlantai tegel lama, menyimpan kesan kuno. Plafon serambi dibuat tinggi menyesuaikan bangunan inti masjid, dengan disain persegi sederhana. Di serambi ini terletak beduk berdiameter 1.5 m dan masih berfungsi baik. Masjid Kemayoran merupakan masjid tertua di Surabaya, selain masjid Ampel. Masjid ini dibangun tahun 1772 oleh pemerintah Belanda. Bukti ini tertulis pada suatu prasasti berhuruf Jawa dan latin berbahasa Jawa, yang diletakkan pada dinding serambi masjid (Iwan Nugroho dalam kompasiana.com, 17/6/2018).
Masjid Kemayoran juga menjadi saksi sejarah perjuangan Kemerdekaan. Posisinya sempat menjadi markas laskar Hizbullah menjelang pertempuran 10 Nopember 1945. Nilai-nilai perjuangan membebaskan dari penjajahan adalah implementasi nilai-nilai keagamaan sepanjang masa. Posisi masjid punya peran penting pada saat itu. Masjid Kemayoran kini bukan lagi masjid terbesar di Surabaya. Posisinya di tengah kota terjepit oleh lembaga pendidikan Takmiriah (di sebelah Timur), SMP Negeri 2 (sebelah utara) dan pemukiman padat kampung Kemayoran (di sebelah Barat), dan jalan Indrapura (di sebelah Selatan). Masjid tidak punya lahan parkir, sehingga kendaraan diparkir di jalan Indrapura. Rasanya agak sulit mengupayakan perluasan masjid (Iwan Nugroho dalam kompasiana.com, 17/6/2018).
Saat sedang berada di Masjid Kemayoran, saya menghayati dalam-dalam dan mencoba untuk kembali ke masa lalu tentang berbagai kejadian di masjid ini, tidak terasa dalam lamunan kala itu diri saya seolah sedang menggembung khayali diajak menembus ruang dan waktu, nampak terasa nyaman hati ini, entah lah ada suasana sejuta rasa bahagia,sedih, haru dan kecewa yang tidak bisa diceritakan ketika saya melakukan napak tilas ke berbagai tempat yang memiliki nilai-nilai sejarah perjuangan tokoh-tokoh yang saya cintai, begitulah cinta akan memberikan nilai terhadap tempat yang sederhana bahkan kadang tak dilirik orang menjadi bermakna dan istimewa. Saat saya dengan menghayati suasana di dalam masjid, tak terasa matahari mulai semakin tergelincir dan tandanya saya harus segera berangkat ke pelabuhan Tanjung Perak karena jadwal kapal yang menuju Lombok akan segera tiba pukul 14.00 WIB.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H