Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Napak Tilas Sejarah Kota Pahlawan di Museum Surabaya (Gedung Siola)

22 Juli 2021   20:04 Diperbarui: 22 Juli 2021   21:17 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Surabaya (Dokumentasi Pribadi)

Kisah miris pun terungkap di penjara bawah tanah tersebut. Ruangan ini begitu gelap, pengap dan juga lembab, dan hanya bisa digunakan untuk 20 tahanan. Tetapi, hati dingin Belanda memasukan 90 tahanan ke ruangan ini, di mana begitu menyiksa bagi para Pahlawan. Sebelum digunakan sebagai penjara, ruangan kecil tersebut dulunya digunakan sebagai tempat penyiksaan para tahanan. Entah bagaimana cara penjajah menyiksa tahanan, tak ada satu pun yang mengetahuinya. Apalagi tempat tersebut sudah lama dibangun sejak Belanda masuk ke Indonesia (Tentry Yudvi dalam okezone.com, 18/8/2017).

Penjara ini dibangun sekitar tahun 1808 dengan mencucurkan dana 8.000 gulden oleh Gubenur Herman Williem Daendels yang menjadi Gubenur Hindia Belanda yang ke 36. Sejak didirikan, penjara bawah tanah ini menjadi tempat terseram bagi narapidana, tak ada yang bisa membayangkan hidup di ruangan kecil tanpa adanya oksigen cukup (Tentry Yudvi dalam okezone.com, 18/8/2017).

Para Pahlawan di antaranya ada Soekarno hingga Kyai Haji Mas Mansur pernah mendekap di penjara tersebut ketika tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia antara 1942-1943. Pendiri sekaligus Ketua Pertama Sarekat Islam, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto tercatat pernah mendekam di Penjara Kalisosok. Bahkan, tokoh Marhaenis dan pejuang rakyat Surabaya Doel Arnowo pun pernah mendekam selama sembilan bulan. Belanda saat itu memang sering memenjarakan orang yang menebar kebencian terhadap pemerintahnya, dan membuat orang pribumi pun menolak kehadiran mereka. Namun, sejak merdeka, penjara ini sudah tidak lagi digunakan sebagai penjara dan dibiarkan begitu saja hingga dijadikan cagar budaya. Tetapi, kini penjara tersebut menjadi tempat singgah para preman dan tempat istirahat Truk. Sungguh menyedihkan, padahal bangunan bisa menjadi bekal yang baik untuk generasi penerus jika dibenahi dengan baik (Tentry Yudvi dalam okezone.com, 18/8/2017).

Penjara Kalisosok juga menyimpan cerita heroik. Oktober 1945, ketika berita kemerdekaan berhasil menyelinap masuk penjara, para tahanan pun membentuk 'Laskar Pendjara'. Pimpinan laskar ini adalah seorang tukang becak bernama Mayor Dollah. Sebagaimana ditulis Bung Tomo dalam bukunya, Kisah Perang 10 November, yang terbit tahun 1950, pemberontakan dalam penjara ini berhasil menjebol tembok penjara sisi utara (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018).

Pada saat perjuangan anti-fasisme, Penjara Kalisosok juga menjadi saksi penangkapan para aktivis anti-fasis seperti Pamudji, Sukayat, Sudarta, dan Asmunanto. Bahkan, tokoh utama gerakan anti-fasis saat itu, Amir Syarifuddin juga ditangkap dan dipenjara di sini. Ketika Sekutu mendarat di Surabaya, Kalisosok menjadi saksi sejarah keberanian rakyat Surabaya melawan pasukan Inggris. Pada 26 Oktober 1965, pasukan Inggris dibawah pimpinan Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang perwira Belanda, Kolonel Huiyer (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018).

Di zaman Orde Baru, Penjara Kalisosok juga menjadi tempat ditahannya para tapol Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Banyak di antara mereka, sebelum dibuang ke Pulau Buru atau Nusakambangan, harus mendekam di Kalisosok. Mohammad Sholeh, Aktivis Pro Demokrasi di pengujung kekuasaan Orde Baru, pernah merasakan dinginnya lantai Kalisosok. Ia menjadi penghuni di penjara legendaris yang terkenal dengan tahanan politiknya selama 1,5 tahun (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018).

Di ruangan penjara berukuran 1,5x2,5 meter, nalar politik dan gerakan yang dibawanya tak luntur. Kebiasaannya membaca buku masih bisa disalurkan di dalam penjara. Ia termasuk beruntung masih bisa menempati Blok E Penjara Kalisosok. Di blok tersebut, ia tak dijadikan satu dengan kumpulan penghuni penjara lainnya. Sebab, ia termasuk tahanan politik, sehingga pengajuannya untuk menempati Blok E diizinkan oleh sipir penjara (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018)..

Jembatan Merah

Jembatan Merah dibentuk atas kesepakatan Pakubowono II dari Mataram dengan VOC sejak 11 November 1743. Dalam perjanjian disebutkan bahwa beberapa daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan ke VOC, termasuk Surabaya yang berada di bawah kolonialisme Belanda. Sejak saat itu, daerah Jembatan Merah menjadi kawasan komersial dan menjadi jalan satu-satunya yang menghubungkan Kalimas dan Gedung Residensi Surabaya. Dengan kata lain, Jembatan Merah merupakan fasilitator yang sangat penting pada era itu (eastjava.com)

Jembatan Merah berubah secara fisik sekitar tahun 1890an, ketika pagar pembatas diubah dari kayu menjadi besi. Saat ini, kondisi jembatan yang menghubungkan jalan Rajawali dan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya ini hampir sama seperti jembatan lainnya, dengan warna merah tertentu. Di sekitar jembatan, terdapat beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya yang masih difungsikan dan terletak di selatan Jembatan Merah. Selain itu, terdapat pula pusat perbelanjaan yang terkenal di Surabaya yaitu, Jembatan Merah Plaza (eastjava.com).

Jembatan Merah pernah menjadi saksi hidup dari tentara Indonesia, khususnya pahlawan-pahlawan Surabaya yang berjuang melawan kolonialisme Belanda. Oleh karena itu, tidak peduli kondisi yang mungkin terjadi hari ini, Jembatan merah adalah warisan penting bagi sejarah Indonesia. Jembatan Merah merupakan pahlawan yang masih hidup dan akan terus hidup melawan waktu (eastjava.com).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun