PERBANKAN
Keberadaan Bank Dewasa ini sangat membantu kehidupan Masyarakat, Bank mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu usaha para nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja dan diharapkan adanya peningkatan pembangunan diberbagai sektor.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bank dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Bank Umum dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Bank Umum memiliki kegiatan usaha yang lebih luas, karena melakukan kegiatan usaha lainnya, seperti menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, menerbitkan surat pengakuan hutang serta melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. BPR (Bank Perkreditan Rakyat) adalah bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006).
BPR
Prosedur pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat yang masih sederhana menjadi alternatif pilihan dari para debitur baik pelaku usaha mikro maupun menengah. Selain itu proses yang sangat cepat dalam hal pencairan kredit juga menjadi keunggulan dari Bank Perkreditan Rakyat. Semakin banyaknya kredit yang disalurkan oleh Bank Perkreditan Rakyat, semakin tinggi juga kemampuan bank dalam menghasilkan pendapatan berupa pendapat bunga dari kredit yang disalurkan tersebut mengingat aset yang paling produktif dalam Bank Perkreditan Rakyat adalah berupa kredit yang disalurkan kepada para debitur sehingga laba yang dihasilkan Bank Perkreditan Rakyat juga semakin tinggi.
Status BPR diberikan kepada Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dengan memenuhi persyaratan tatacara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Beberapa tahun terakhir ini, BPR banyak muncul bak jamur di musim penghujan. Data yang diambil dari BI dapat diketahui bahwa jumlah BPR posisi Juni 2011 mencapai 1.682 BPR. Data mengenai perkembangan BPR dapat dilihat pada tabel 1.1. berikut ini:
Tabel 1.1 Perkembangan BPR tahun 2007-2011
Kegiatan Usaha BPR Konvensional skala Nasional
Periode : Maret 2015 - Agustus 2015
Indikator
2015
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Jumlah BPR
1,642
1,642
1,643
1,644
1,644
1,644
Sumber Dana (Rp. Ribu)
75,774,426,687
76,576,939,079
77,598,149,879
78,053,034,549
78,927,222,604
79,858,891,618
Sumber : Bank Indonesia
Maraknya pendirian BPR baru itu terjadi sebagai dampak dikeluarkannya deregulasi disektor perbankan atau kebijakan perbankan pada bulan Oktober 1988, yang dikenal dengan Paket Oktober 1988 (Pakto 1988). Sedikit mengulas tentang Pakto 1988 bahwa Pakto 88 adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Pemberian izin usaha bank baru yang telah diberhentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan.Reserve requirement bank lokal dari 15% menjadi 2%. Kebijakan Pakto tersebut menyebabkan peningkatan uang yang beredar di pasar. Pakto 88 memberikan kemudahan untuk mendirikan bank swasta baru, memberikan izin bagi perusahaan asing untuk beroperasi di luar Jakarta, memberikan kemudahan bagi bank sehat untuk ekspansi (dengan cara memberikan kredit). Dengan kata lain, kebijakan Pakto 1988 merupakan kebijakan agresif untuk ekspansi.
Sasaran BPR
Melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan para pelepas uang (rentenir dan pengijon).
PROFITABILITAS BANK
Barnekow (2012) mengatakan suatu perusahaan dapat mencapai laba yang tinggi dengan proses internal yang kuat dalam mengelola aktiva dan utang yang ada. Pengelolaan aktiva dan utang oleh manajemen dapat dilihat dari kemampuan finansial dan non finansial yang disalurkan kepada masyarakat sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap profitabilitas BPR.
Profitabilitas menurut Munawir (2010:33) adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Profitabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh dalam suatu periode tertentu dengan jumlah aktiva dan jumlah modal perusahaan tersebut. Profitabilitas dapat menganalisa tingkat efisiensi BPR dalam memperoleh laba selama periode tertentu dengan modal yang dipergunakan.
Menurut Rivai dan Andria (2007: 157) ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen lembaga keuangan dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai lembaga keuangan tersebut dan semakin baik pula posisi lembaga keuangan tersebut dari segi penggunaan asset.
KREDIT DAN KREDIT BERMASALAH
BPR yang mengalami kebangkrutan karena jumlah dana yang disalurkan untuk kredit lebih besar dari pada dana yang dihimpun dari masyarakat, hal ini disebabkan strategi dan pola manajmen dalam menarik minat masyarakat untuk menyimpan uang di BPR tersebut tidak berhasil atau gagal karena masyarakat lebih tertarik dengan lembaga keuangan yang menawarkan produk-produk bank yang lebih menarik (Nugroho,2010).
Kredit berasal dari kata credere yang artinya adalah kepercayaan, maksudnya adalah apabila seseorang memperoleh kredit berarti mereka memperoleh kepercayaan. Sementara itu bagi si pemberi kredit artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang bahwa uang yang dipinjamkan pasti kembali (Kasmir, 2011: 72).
Menurut Hasibuan (2000: 88) “Kredit adalah semua jenis pinjaman yang harus dibayar kembali bersama bunganya oleh peminjam sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati”
Kredit bermasalah merupakan kondisi dimana kredit yang diberikan kepada debitur dalam pelunasannya mengalami penunggakan atau kesulitan yang disebabkan oleh pihak intern maupun ekstern. Pengertian ini didukung oleh pendapat dari Siamat (2004: 86) bahwa “kredit bermasalah atau Non Performance Loan (NPL) merupakan kredit yang mengalami kesulitan dalam pelunasan akibat adanya kesengajaan dan atau karena faktor eksternal di luar kemampuan kreditur seperti kondisi ekonomi yang buruk”
Sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) bahwa penggolongan kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) kredit kurang lancar, (2) kredit diragukan, dan (3) kredit macet. Penelitian yang dilakukan oleh Savitri, dkk. (2013) dan Rusdiana (2012) memperoleh hasil bahwarasio kredit bermasalah secara parsial berpengaruh negatif terhadap profitabilitas.
Untuk menghindari tingginya kredit bermasalah dari ketidakefisienan dalam penyaluran kredit, dilakukan pertimbangan mengenaipengalokasian dana yang efisien, sehingga tingkat
kredit bermasalah tidak terlalu tinggi (Utomo, 2008). Banyaknya kredit bermasalah akan menyebabkan permodalan bank berkurang yang dapat dilihat dari rasio kecukupan modalnya.
Menurunnya rasio kecukupan modal, dapat menurunkan penyaluran kredit perbankan, sehingga kemampuan bank dalam menghasilkan laba yang optimal akan hilang, dan kemampuan untuk bangkit kembali pada saat merugi juga rendah, serta turunnya kepercayaan nasabah (Mubarok, 2010).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H