Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat Dwi Oktara
Muhammad Hidayat Dwi Oktara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku menulis bukan untuk menjadi terkenal. Aku hanya ikin dikenal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena September

3 September 2016   15:49 Diperbarui: 3 September 2016   16:01 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selamat datang September!

Berjumpa denganmu selalu mengingatkanku pada peristiwa 16 tahun yang lalu. Karenamu, seluruh kehidupanku menjadi berubah. Karenamu, aku selalu menemukan masa-masa tersulit dalam hidupku. Karenamu juga, aku terlatih agar lebih dewasa dan mandiri untuk terus menghadapi siklus tak menentu kehidupan ini.

Sebelumnya, kami merupakan 5 anggota keluarga yang sangat bahagia dalam sebuah kesederhanaan. Kami bukan berasal dari keluarga kaya. Ayah dulu hanyalah seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar. Beliau bekerja dari pagi hingga menjelang sore. Sore harinya, beliau memiliki tugas untuk membagikan ilmu kepada santri-santrinya di mushollah kayu sebelah rumah kami. 

Ummi, hanyalah seorang ibu rumah tangga. Beliau baru membantu mencukupi kebutuhan keluarga ketika saya mulai bersekolah. Beliau berjualan jajanan di koperasi sekolah tempat ayah bekerja. Saya dan kakak perempuan memiliki selisih usia 2 tahun. Sedangkan adik lakik-laki berjarak 3 tahun dari usia saya.

Selama ayah dan ummi ada, mereka berdua tidak pernah sedikitpun memanjakan anak-anaknya. Setiap hari mereka telah memiliki daftar tugas yang harus diselesaikan oleh putra putri mereka di rumah. Saya sendiri memiliki tugas khusus. Setiap pukul 6 pagi, saya harus memberi makan hewan ternak. Kebiasaan tersebut saya lakukan bahkan sebelum saya berstatus sebagai siswa. Orang tua saya memang suka memelihara ayam dan bebek di halaman belakang rumah. Siang hari, kami diwajibkan untuk tidur siang tanpa terkecuali. 

Sore hari, saya mendapat tugas untuk menyirami bunga-bunga di halaman depan atau menyapu dan membersihkan rumah, tergantung apa yang dikerjakan oleh kakak. Setelah itu, saya harus pergi ke mushollah untuk turut belajar mengaji. Malam harinya, saya harus belajar (bahkan saya lakukan walaupun belum bersekolah) hingga pukul 9 malam tiba. Kegiatan tersebut setiap hari rutin saya lakukan. Memulai aktivitas subuh dan mengakhirinya pukul 9 malam.

Kenangan demi kenangan selalu saya ingat, terutama bagaimana peran ummi dalam mendewasakan saya. Ummi lah yang membuat saya mampu menulis, membaca dan berhitung walaupun saat itu saya belum sekolah. Karena hal tersebut, saya tidak pernah merasakan duduk di bangku TK. Hal yang paling berkesan selama hidup saya adalah ketika beliau memberikan tantangan kepada saya. 

Ketika memasuki catur wulan (istilah semester saat itu) terakhir atau kenaikan kelas, saya mendapat tantangan dari ummi untuk tetap mempertahankan peringkat pertama di kelas. Tidak tanggung-tanggung, hadiah yang beliau tawarkan untuk saya jika berhasil adalah khitan. Khitan di usia 7 saat itu sangat populer di kampung tempat saya tinggal.

Setiap hari saya terus menambah porsi belajar saya. Saya terus terpacu dengan tantangan yang diberikan oleh ummi karena memang saya ingin segera dikhitan. jika saya gagal saat itu, ntah kapan khitan itu dilaksanakan. Ummi juga berpesan bahwa jika saya gagal, maka khitan untuk saya tidak akan pernah dilaksanakan. Kejam bukan?

Rasa bangga beliau terhadap keberhasilan saya saat itu ditunjukkan dengan senyum bahagianya ketika nama saya dipanggil oleh guru untuk maju ke depan kelas. Saya berhasil menjadi yang pertama dan berhasil naik dari kelas satu ke kelas dua. Beliau tidak henti-hentinya mencium dan menggendong saya hingga sampai di rumah. Saya masih ingat betapa beliau benar-benar bangga dengan saya.

Apa yang pernah beliau janjikan ternyata menjadi realita. Saya dikhitan tepat ketika liburan sekolah tiba. Tidak ada pesta mewah. Proses khitan hingga acara syukuran dilakukan secara sederhana. 

Ummi secara pribadi membuatkan sebuah kuetar khusus yang terpampang mewah di sebelah tempat duduk saya. Tulisan nama saya di kuetar buatan Ummi sangat berarti. Hanya bahagia yang saya rasakan saat itu. Dibalik caranya yang keras dalam mendidik anak-anaknya, ternyata ummi memiliki rasa kasih sayang yang begitu tinggi kepada kami.

Kejutan tidak hanya berhenti pada prosesi khitan untuk saya. Ayah dan Ummi menghadiahkan saya sebuah sepeda (walaupun saya tidak bisa menggunakannya saat itu) dan berlibur ke kebun binatang Surabaya bersama. Itu adalah sebuah hadiah paling mewah dan megah selama hidup saya. Itu adalah hadiah termahal yang pernah saya dapatkan dari sosok keluarga sederhana tersebut.

Kami menikmati liburan di Kota Surabaya berlima menggunakan angkutan umum. Brangkat menggunakan kereta api dan pulang dengan bus antar kota. Surabaya adalah kenangan ketika saya merasakan waktu yang paling berkualitas dan berkesan bersama kedua orang tua dan saudara kandung saya. Hari itu adalah hari paling bahagia yang tidak ada duanya.

Kebahagiaan yang saya rasakan terasa begitu singkat setelah Allah menurunkan ketetapannya. 4 September 2000, ayah, ummi dan adik saya yang saat itu masih berumur 4 tahun terlibat kecelakaan dengan sebuah bus yang dikemudikan oleh sopir dengan kondisi mabuk. Mereka terlibat kecelakaan sekitar pukul 10 malam, tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal. Mereka bertiga meninggal dunia.

Kakak saat itu baru naik di kelas 5 sekolah dasar dan saya berada 3 tahun dibawahnya. Saya yang masih berusia kurang dari 8 tahun harus kehilangan sosok paling berharga.

Saya bodoh. Saya hanya bisa menangis melihat para pelayat yang mulai berdatangan ke rumah. Saya melihat banyaknya saudara yang meneteskan air mata, sedangkan kakek dan nenek saat itu tergeletak pingsan di rumahnya yang kebetulann berada di sebelah rumah kami. Ntah sudah ada berapa pelayat yang bergantian menggendong untuk sekadar mengalihkan perhatian saya atas musibah tersebut. Kakak, saya tidak tahu di mana ia saat itu. Saya hanya mendengar tangisannya.

Tangis saya menuju puncaknya ketika dini hari saya diberi kesempatan untuk melihat wajah jasad kedua orang tua dan adik saya. Saat itu ayah berada di atas dipan seorang diri, sedangkan ummi di dipan lainnya dengan adik di sebelahnya. Mereka bertiga telah terbujur kaku. Saya marah dengan apa yang telah terjadi. Begitu teganya nikmat saya di dunia ditarik kembali menujuNya. Saya protes melalui doa-doa yang saya bisa sebelum mereka dimakamkan, berharap sebuah keajaiban tiba sehingga mereka bisa kembali melihat dunia.

Keajaiban itu tidak ada. Sedikitpun tidak. Mereka bertiga telah dibungkus rapi dengan kain kafan. Saya hanya memperoleh kesempatan menatap wajah pahlawan-pahlawan tersebut sekali saja, hingga akhirnya mereka dikebumikan di pemakaman umum kampung saya. Do'a dan permohonan maaf dari salah satu wakil keluarga saat itu kepada para pelayat adalah akhir dari kebahagiaan singkat yang saya rasakan. Pada akhirnya saya harus menerimaa kenyataan sebagai seorang yatim piatu baru.

September telah merubah segalanya.

Pasca kembalinya kedua orang tua dan adik saya menuju kehadiratNya, kehidupan saya berubah total. Saya telah kehilangan motivator terbesar dan terhebat dalam hidup saya. Saya harus berjuang seorang diri melawan kerasnya hidup yang dapat menjatuhkan siapa saja ke dalam jurang kesengsaraan. 

Menjadi yatim piatu sejak berada di kelas 2 sekolah dasar telah melatih saya bagaimana bertahan dalam dunia pendidikan. Sebelum ayah meninggal dunia, beliau memperoleh surat pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil oleh pemerintah. Dengan demikian, uang pensiun yang diterima oleh ahli warisnya sangat berguna untuk sekadar membantu meringankan beban yang berulang kali datangnya. Uang pensiun yang sangat minim jumlahnya, membuat saya harus berjuang bagaimana agar kebutuhan saya tercukupi. 

Selama berada di sekolah dasar, saya berhasil menjadi wakil sekolah untuk mengikuti berbagai lomba ketika musim kompetisi tiba. Beberapa gelar juara di ajang tertentu berhasil saya berikan ke sekolah. Itu artinya, saya mendapat uang hadiah dan beasiswa untuk menunjang kebutuhan sekolah saya. Puncaknya, saya menjadi juara kelas dan menjadi lulusan terbaik di sekolah saat itu.

Saya berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama. Saya diterima di salah satu sekolah favorit yang letaknya cukup jauh dari tempat saya tinggal. Cobaan datang melanda ekonomi saya dan kakak yang saat itu diasuh oleh kakek dan nenek saya. Bersamaan dengan masuknya saya ke jenjang sekolah baru, kakak saat itu berhasil lulus dan masuk ke salah satu sekolah kejuruan swasta dengan biaya yang tidak sedikit. 

Selama berada di jenjang tersebut, saya berusaha agar memiliki prestasi yang bisa saya andalkan untuk meringankan biaya sekolah. Selama di sekolah menengah pertama, saya mendapat bantuan buku sekolah dari seorang guru yang berhati mulia. Bu Anis. Beliau adalah sosok pahlawan yang mengantarkan saya hingga berhasil lulus dengan tepat waktu.

 Beliau lah yang membantu mencukupi kebutuhan buku mata pelajaran dan uang saku saya. Selain itu, saya juga mencoba untuk menjadi penjual layang-layang dan mainan bekas yang pernah saya punya. Saya lakukan semuanya setelah pulang sekolah. Saya juga aktif membantu kakek membuat batu bata untuk mencukupi kebutuhan makan kami. Di usia tersebut, saya harus memutar otak untuk mengimbangi kegiatan belajar mengajar, OSIS, hingga kebutuhan mencukupi kebutuhan di luar sekolah.

Saya berhasil masuk ke salah satu sekolah menengah kejuruan favorit di kota tempat saya tinggal. Dengan berbagai pertimbangan dan nasehat yang saya peroleh dari kakak, akhirnya saya harus menanggalkan cita-cita saya sejak kecil untuk menjadi seorang dokter. Saya diterima di jurusan Akuntansi, sebuah jurusan yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Ketidakmampuan saya dalam segi ekonomi telah membuat kakak mengarahkan saya untuk mengambil jenjang kejuruan, dengan harapan setelah lulus saya bisa langsung bekerja.

Saya masih terus menjadi penjual layang-layang hingga berada di kelas sebelas. Saya mengikuti kegiatan OSIS seperti saat di jenjang menengah pertama. Harapan untuk menambah pengalaman berorganisasi selalu menjadi prioritas saya. Selain itu, konsumsi yang didapatkan setelah melaksanakan kegiatan juga menjadi alsan bagi saya.

Biaya sekolah yang semakin besar membuat saya harus berfikir lebih besar. Uang pensiun selalu kurang karena memang sebagai pencukup kebutuhan kami berempat. Tidak ada yang mengetahui status saya saat itu hingga memasuki tingkat terakhir. Di kelas dua belas, saya baru memperoleh bantuan dari sekolah selama 6 bulan terakhir. 

Saya juga menemukan sosok pahlawan dalam dunia pendidikan menengah saya. Bu Mimin. Beliaulah yang menanggung biaya sekolah saya saat berada di kelas 3. Beliau juga mencukupi kebutuhan sehari-hari saya. Beliau adalah orang yang pertama kali mengetahui status saya saat kami pergi ke Surabaya untuk mengikuti lomba karya SMK. Beliau menjadi sosok yang terus memberi semangat agar saya tidak pernah menyerah dalam menyelesaikan pendidikan saya. Saya menjadi kuat karena selain itu Bu Anis masih tetap memperhatikan kehidupan saya.

Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Saya berhasil lulus dengan baik dan diterima sebagai mahasiswa penerima beasiswa dikti di sebuah universitas ternama. Saya memperoleh kekuatan yang luar biasa setelah mengetahui bahwa nama saya berhasil lolos dalam seleksi penerimaan beasiswa bidik misi.

Selama menjadi mahasiswa, berbagai kegiatan telah saya ikuti. Selain aktif di jam kuliah, saya rajin mengikuti organisasi. Selain itu, saya kerap dipercaya untuk menjadi MC dengan honor yang dapat saya gunakan untuk mencukupi kebutuhan di kota tempat saya merantau. Merasakan menjadi seorang mahasiswa adalah sebuah kebanggaann tersendiri, terutama bagi seorang yatim piatu yang tidak bermodal seperti saya. Biaya hidup dari pemerintah, uang pensiun, dan honor yang tidak tentu datangnya menjadi sumber pendapatan saya selama kuliah.

Kado terindah yang saya dapatkan adalah keberhasilan menyelesaikan program sarjana dalam waktu 3,5 tahun. Kakak dan suaminya menjadi saksi keberhasilan saya saat dikukuhkan sebagai seorang sarjana di acara wisuda.

Karena September.

Meskipun secara pendidikan saya cukup berhasil, namun tidak untuk isi hati, pikiran, dan kebahagiaan. Keberhasilan saya dari sekolah dasar hingga pengukuhan gelar sarjana sungguh tidak berarti tanpa disaksikan oleh kedua orang tua. Jangankan melihat saya naik panggung, menyaksikan saya bisa mengayuh sepeda hasil hadiah mereka saja tidak bisa. Selama 16 tahun pula hari raya saya terasa hampa.

Saat ini saya terus berjuang untuk mencari pengganti kebahagiaan itu. Saya terus berharap agar ada pengganti dari nikmat terbesar yang telah kembali. Saya hanya ingin secepatnya bertemu dan mengungkapkan rindu yang teramat dalam kepada mereka.

Karena September, hidup saya berubah. Karena September, hidup saya masih begitu hampa. Karena September, Ntahlah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun