Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat Dwi Oktara
Muhammad Hidayat Dwi Oktara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku menulis bukan untuk menjadi terkenal. Aku hanya ikin dikenal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena September

3 September 2016   15:49 Diperbarui: 3 September 2016   16:01 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ummi secara pribadi membuatkan sebuah kuetar khusus yang terpampang mewah di sebelah tempat duduk saya. Tulisan nama saya di kuetar buatan Ummi sangat berarti. Hanya bahagia yang saya rasakan saat itu. Dibalik caranya yang keras dalam mendidik anak-anaknya, ternyata ummi memiliki rasa kasih sayang yang begitu tinggi kepada kami.

Kejutan tidak hanya berhenti pada prosesi khitan untuk saya. Ayah dan Ummi menghadiahkan saya sebuah sepeda (walaupun saya tidak bisa menggunakannya saat itu) dan berlibur ke kebun binatang Surabaya bersama. Itu adalah sebuah hadiah paling mewah dan megah selama hidup saya. Itu adalah hadiah termahal yang pernah saya dapatkan dari sosok keluarga sederhana tersebut.

Kami menikmati liburan di Kota Surabaya berlima menggunakan angkutan umum. Brangkat menggunakan kereta api dan pulang dengan bus antar kota. Surabaya adalah kenangan ketika saya merasakan waktu yang paling berkualitas dan berkesan bersama kedua orang tua dan saudara kandung saya. Hari itu adalah hari paling bahagia yang tidak ada duanya.

Kebahagiaan yang saya rasakan terasa begitu singkat setelah Allah menurunkan ketetapannya. 4 September 2000, ayah, ummi dan adik saya yang saat itu masih berumur 4 tahun terlibat kecelakaan dengan sebuah bus yang dikemudikan oleh sopir dengan kondisi mabuk. Mereka terlibat kecelakaan sekitar pukul 10 malam, tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal. Mereka bertiga meninggal dunia.

Kakak saat itu baru naik di kelas 5 sekolah dasar dan saya berada 3 tahun dibawahnya. Saya yang masih berusia kurang dari 8 tahun harus kehilangan sosok paling berharga.

Saya bodoh. Saya hanya bisa menangis melihat para pelayat yang mulai berdatangan ke rumah. Saya melihat banyaknya saudara yang meneteskan air mata, sedangkan kakek dan nenek saat itu tergeletak pingsan di rumahnya yang kebetulann berada di sebelah rumah kami. Ntah sudah ada berapa pelayat yang bergantian menggendong untuk sekadar mengalihkan perhatian saya atas musibah tersebut. Kakak, saya tidak tahu di mana ia saat itu. Saya hanya mendengar tangisannya.

Tangis saya menuju puncaknya ketika dini hari saya diberi kesempatan untuk melihat wajah jasad kedua orang tua dan adik saya. Saat itu ayah berada di atas dipan seorang diri, sedangkan ummi di dipan lainnya dengan adik di sebelahnya. Mereka bertiga telah terbujur kaku. Saya marah dengan apa yang telah terjadi. Begitu teganya nikmat saya di dunia ditarik kembali menujuNya. Saya protes melalui doa-doa yang saya bisa sebelum mereka dimakamkan, berharap sebuah keajaiban tiba sehingga mereka bisa kembali melihat dunia.

Keajaiban itu tidak ada. Sedikitpun tidak. Mereka bertiga telah dibungkus rapi dengan kain kafan. Saya hanya memperoleh kesempatan menatap wajah pahlawan-pahlawan tersebut sekali saja, hingga akhirnya mereka dikebumikan di pemakaman umum kampung saya. Do'a dan permohonan maaf dari salah satu wakil keluarga saat itu kepada para pelayat adalah akhir dari kebahagiaan singkat yang saya rasakan. Pada akhirnya saya harus menerimaa kenyataan sebagai seorang yatim piatu baru.

September telah merubah segalanya.

Pasca kembalinya kedua orang tua dan adik saya menuju kehadiratNya, kehidupan saya berubah total. Saya telah kehilangan motivator terbesar dan terhebat dalam hidup saya. Saya harus berjuang seorang diri melawan kerasnya hidup yang dapat menjatuhkan siapa saja ke dalam jurang kesengsaraan. 

Menjadi yatim piatu sejak berada di kelas 2 sekolah dasar telah melatih saya bagaimana bertahan dalam dunia pendidikan. Sebelum ayah meninggal dunia, beliau memperoleh surat pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil oleh pemerintah. Dengan demikian, uang pensiun yang diterima oleh ahli warisnya sangat berguna untuk sekadar membantu meringankan beban yang berulang kali datangnya. Uang pensiun yang sangat minim jumlahnya, membuat saya harus berjuang bagaimana agar kebutuhan saya tercukupi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun