Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dialog Dini Hari

8 November 2023   17:03 Diperbarui: 8 November 2023   17:06 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekala hampir tak pernah melihat Jingga tersenyum, marah, menangis, atau bahkan kecewa. Hampir dua puluh tahun menjadi tetangganya, ekspresi yang dilihat Sekala selalu sama; datar. Entah itu ketika Mamanya membuang seluruh alat lukisnya ke tempat sampah, ketika lagi-lagi dirinya mendapat peringkat pertama dari seluruh siswa, atau ketika anak-anak komplek mengejek tubuh kecilnya. Mungkin Sekala pernah melihatnya saat mereka kecil, tetapi sudah lupa saking lamanya.

Katakanlah Jingga introvert.

Namun, sikap orang-orang introvert yang dikenal Sekala tidak sampai separah Jingga. Misalnya saja, Sheina, kakak Sekala yang kuliah di jurusan hukum. Hampir tak ada satupun orang yang mengakui Sheina ramah karena sikap introvertnya. Bahkan Sekala yakin, hanya segelintir orang yang mengenal kakaknya. Meski begitu, Sheina bisa mengamuk ketika komik One Piece milik Sekala menyelip di rak buku-bukunya yang disusun berdasarkan abjad. Sheina masih bisa tertawa ketika Sekala melempar guyonan receh agar dipinjami motor. Bahkan, Sheina kedapatan menangis ketika mereka menonton film Miracle in Cell No 7.

Sebenarnya, jenis manusia seperti apa Jingga?

Ah, andai Sekala tidak mewarisi jiwa "kepo berlebih" dari ayahnya, tentu perkara Jingga tidak akan membuatnya sampai pening kepala.

"Jangan-jangan dia hantu." Pernah Sekala bergumam ketika melihat Jingga sedang membaca buku di balkon kamarnya, berhadapan dengan balkon rumah Sekala. Namun, Sekala juga membantah. "Gak mungkin hantu. Mana ada hantu secantik Jingga. Kalau ada, cowok-cowok pasti protes karena peluang mereka dapat jodoh jadi makin kecil," katanya.

Hingga akhirnya, Sheina datang bak Dewi dan berujar sok tahu pada Sekala. "Kalau cuma dilihatin dari jauh, kamu gak akan tahu apa-apa, Kal. Rasa suka berkedok kepo yang kamu rasakan itu akan makin ganas ke depannya kalau kamu gak mengambil tindakan," petuah Sheina saat itu.

Barangkali, petuah dari Sheina itulah yang membawa Sekala ke lapangan basket di ujung komplek pada waktu dini hari. Selama seminggu penuh Sekala mengumpulkan keberanian untuk melakukannya. Seminggu penuh pula Sekala memperkuat pengamatannya terhadap balkon kamar di seberang rumahnya itu.

Dan ....

"Tuh, kan! Benar!" Sekala menghembuskan nafas lega setelah menemukan apa yang dia cari, Jingga. Gadis itu duduk sendiri di kursi kayu yang berada tepat di bawah lampu. Di depannya ada steger yang lengkap dengan kanvas.

"Orang gila jenis apa sih, yang datang ke lapangan basket tengah malam begini?" rutuk Sekala. Tanpa meminta persetujuan, dia duduk di sebelah Jingga. Menatap lukisan setengah jadi milik gadis itu dengan tatapan menilai.

Pertanyaan pertamanya tidak mendapat sahutan dari Jingga. Gadis itu kembali fokus pada kanvas, dan palet lukis di tangannya. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun.

"Dengar ya, Jingga! Aku cukup pemberani untuk kamu takut-takuti dengan pura-pura jadi hantu dan gak melihat keberadaanku," cetus Sekala lagi. Kali ini juga sama, Jingga tak menyahut atau hanya menoleh padanya. Sekala sampai kesal sendiri karenanya. Kalau saja dia tahu respon sedingin inilah yang akan diberikan gadis itu, tentu Sekala tak akan repot-repot menghampirinya tengah malam begini.

Sekala berdecak. "Andai aja ada pasal yang mengatur tentang tindakan mencurigakan yang tidak menyenangkan, pasti kamu udah dipidana, Jingga. Tindakan kamu ini, diam-diam menyelinap tengah malam dan menggunakan fasili---"

"Pasal 318 KHUP ayat 1, barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun," sela Jingga.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, akhirnya Sekala mendengar suaranya lagi. Suara bernada rendah yang tidak berat. Sayangnya, Sekala terlalu lama untuk bangkit dari rasa terkejutnya.

"Jangan main-main dengan hukum kalau kamu gak mau rasa penasaran kamu berujung bui. Sayang uang orang tua, alih-alih lulus strata satu manajemen, kamu bisa masuk penjara karena sok tahu." Jingga melanjutkan. Gadis itu menoleh sekejap pada Sekala dengan tatapan seperti biasa---dingin, datar, dan tak bersahabat---sebelum kembali lanjut melukis.

"Wah, kamu bahkan tau kalau aku kuliah jurusan manajemen, Jingga."

"Papa kamu pria berisik yang suka membangga-banggakan anaknya pada tetangga. Cih, mirip seseorang." Di akhir kalimatnya, Jingga memelankan suara sampai Sekala tak bisa mendengarnya dengan jelas.

Sekala mencebik sebal. Benar dugaannya, meski berwajah datar dan seolah tak bisa merasakan apapun jenis perasaan apapun di dunia ini, Jingga pasti tipe gadis bermulut sarkas yang suka melemahkan mental seseorang. Sekala tak heran jika dia diterima dengan tangan terbuka di fakultas hukum.

Namun, daripada mendebat Jingga dengan hasil yang sudah pasti kalah, Sekala malah mengembalikan tujuan awalnya datang ke lapangan basket tengah malam begini. "Apa yang kamu lakuin di sini sendirian, Jingga? Selalu tengah malam?"

Masih sibuk dengan lukisannya, Jingga menyahut sekenanya. "Kamu punya mata untuk melihat, kan?"

"Argh! Ngomong sama kamu memang butuh kesabaran ekstra rupanya. Oke, jawab ini aja. Kenapa harus tengah malam? Dan kenapa harus di lapangan basket yang sepi? Kamu gak takut?"

Jingga bergeming, awalnya. Lalu kuas catnya dikembalikan ke palet dengan gerakan pelan. "Tengah malam itu sepi. Gak akan ada yang tahu aku melukis di sini, kecuali tetangga depan rumahku yang suka memata-mataiku dari balkon rumahnya. Walaupun kamu agak menyebalkan dan mirip Om Satria, kupikir kamu gak akan selancang itu untuk ngomong ke siapapun tentang kebiasaanku ini."

"Kamu tahu semua itu, Jingga?"

"Kalau mau menguntit atau memata-matai seseorang, ada baiknya kamu menonton film luar negeri. Gerak-gerik kamu terlalu terbaca."

"Terus kenapa kamu gak pernah berniat menegur, Jingga?"

"Karena itu gak penting. Udahlah! Sekarang kamu sudah tahu, jadi tolong jangan bicara ke siapa-siapa, khususnya orang tuaku."

Sekala tak lantas menimpali. Pun dengan Jingga yang kembali berkutat dengan lukisannya. Ini agak aneh, sebenarnya. Bukan karena Jingga tahu bahwa dia kerap memerhatikan gadis itu, melainkan keluasannya untuk bicara dengan Sekala. Padahal Sekala sudah mempersiapkan diri untuk diusir. Namun setidaknya, perlakuan Jingga menjawab satu pertanyaan besar di kepala Sekala.

Bahwa nyatanya, Jingga juga manusia. Jingga memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap sekitarnya meski gadis itu tak pernah bisa mengekspresikannya dengan baik. Setidaknya itulah yang dilihat Sekala. Perhatian Sekala lalu teralih pada bendera-bendera kecil di sekitar lapangan basket. HUT RI ke-77 tinggal menghitung hari. Pasti akan ada banyak perlombaan di kompleknya.

"Kamu gak tertarik untuk ikut salah satu, Jingga?" tanya Sekala. Dia sudah memutuskan akan pulang jika Jingga juga pulang.

"Apa?" sahut Jingga tanpa menoleh.

"Lomba 17-an. Kamu gak tertarik ikut?"

"Lomba 17-an hanya diikuti orang-orang yang merdeka, Sekala. Orang-orang yang merdeka, atau orang-orang yang tidak sadar bahwa mereka masih terpenjara tepatnya."

"Apa maksudnya?"

"Merdeka itu artinya bebas, Sekala. Bebas untuk berdiri sendiri, tidak terkena tuntutan, lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak berada di bawah kendali pihak tertentu. Jadi jika kamu masih berada di antara hal-hal yang aku sebutkan, berarti kamu belum merdeka."

Sekala mengerti. Namun untuk beberapa saat, dia tak berniat menimpali. Laki-laki itu malah memusatkan atensi pada lukisan Jingga yang hampir selesai, pada wajah tanpa ekspresinya, dan pada matanya yang kelam. Barangkali, Jingga memang sedang membicarakan dirinya sendiri.

Jingga tidak merdeka. Bahkan Sekala saja tahu itu. Sekala tahu ketika Ibu Jingga membuang seluruh alat-alat lukisnya, Sekala tahu ketika gadis itu tak pernah tersenyum atas segala pencapaiannya, dan Sekala bisa tahu dari kebiasaan aneh gadis itu di tengah malam.

"Kamu pasti sudah tahu, Sekala. Kita memang gak pernah berteman akrab. Tidak pernah mengobrol lebih banyak dari ini meski kita pernah sekelas selama enam tahun. Tapi aku yakin kamu tahu apa yang kumaksud," imbuh Jingga membenarkan dugaan-dugaan Sekala.

"Berarti ... bukankah kamu sedang bergerilya? Dengan ada di sini, berarti kamu sedang bergerilya, Jingga. Suatu saat kamu akan menang."

"Perang itu tentang kalah dan menang, Sekala. Walaupun aku bergerilya di sini, gak ada yang menjamin jika aku akan menang. Kemungkinan besarnya malah aku akan gugur. Aku sekarat untuk bisa menjadi pemenang. Bertahun-tahun aku di penjara dalam frasa 'membalas budi baik orang tua'. Nggak sulit kan untuk kamu menduganya?"

Tentu saja. Sekala mengangguk. "Tapi kemerdekaan itu hak semua orang, Jingga. Kamu berhak merdeka. Kamu berhak menolak hal-hal yang tidak kamu inginkan dan menyakiti kamu."

"Semuanya sudah terasa biasa aja, Sekala. Seperti yang kubilang, aku terpenjara, dan aku terbiasa. Tidak ada luka yang sangat menyakitiku, juga tak ada bahagia yang sangat membahagiakanku."

"Pantas kamu seperti sekarang. Bernyawa, pasti gak memiliki rasa."

Jingga membenarkannya sebelum memokuskan kembali perhatian pada lukisannya yang hampir jadi. Lukisan langit malam dengan banyak bintang dan bulan sabit yang redup. Sekala menjadi orang pertama yang mengomentari lukisannya setelah banyak lukisan yang dia buat. Juga orang pertama yang pernah melihatnya melukis, barangkali.

"Seharusnya kamu jadi pelukis saja, Jingga," komentar Sekala. "Lukisan kamu lebih bagus dari gaya bicara kamu yang sarkas."

"Ya, andai ayah dan ibuku tidak tergila-gila pada hukum, pasti aku sudah menjadi pelukis, Sekala. Tapi seperti yang kamu lihat, aku tidak merdeka."

Lalu, bukankah itu tidak adil. Papa Sekala selalu mengatakan nasehat serupa padanya. Bahwa seorang anak bukanlah investasi orang tua. Seorang anak bebas memilih jalan yang ingin dijalaninya, selagi itu baik dan tidak bertentangan dengan agama dan negara. Perasaan iba menyentil Sekala. Jingga seharusnya mendapatkan hal yang sama. Jingga seharunys juga merdeka, sama sepertinya.

"Kalau begitu, kamu juga harus merdeka, Jingga," cetus Sekala berapi-api. "Jangan mau belajar hukum kalau kamu pengen jadi pelukis. Jangan diam saja ketika Ibumu membuang seluruh alat lukismu. Teriaki anak-anak yang mengejek kamu, dan lempar hasil ujian hukum kamu yang memuaskan itu."

Jingga menoleh padanya. Ekspresinya masih sama meski binar matanya berubah sendu.

Sekala melanjutkan ucapannya lagi setelah itu. Dibanding Jingga, justru laki-laki itulah yang tampak lebih bersemangat untuk memerdekakan diri Jingga. "Jangan mau terpenjara. Indonesia yang seluas ini aja bisa merdeka, masa kamu yang sekecil ini nggak? Kamu harus bebas. Gak hanya tentang mimpi, tapi segalanya. Bebaskan mimpi kamu dan diri kamu sendiri. Jangan cuma diam dan menerima. Kamu bukan robot, Jingga.

"Kalau kamu sedih, ya menangis saja. Kalau mau marah, teriak, lempar barang, asal gak menyakiti orang lain. Begitu juga kalau kamu lagi bahagia, ketawa aja yang lepas. Hidup ini cuma sekali, Jingga. Sayang sekali kalau cuma kamu habiskan untuk menerima dikte dari orang lain. Hidup kamu, itu milik kamu. Lakukan apa yang kamu mau, yang membuat kamu merasa berada di jalan yang tepat."

Dan, untuk kali pertama setelah sekian lama, Sekala akhirnya melihat Jingga tersenyum kembali. Meski hanya kecil dan kentara menyimpan kepedihan, Sekala akhirnya melihat semangat memerdekakan diri di dalam diri Jingga. Mata gadis itu bahkan berkaca-kaca ketika mengucap terima kasih padanya.

"Andai kamu datang lebih cepat, aku mungkin sudah menyiapkan gerakan besar untuk merebut kemerdekaanku sejak lama, Sekala."

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun