"Lomba 17-an hanya diikuti orang-orang yang merdeka, Sekala. Orang-orang yang merdeka, atau orang-orang yang tidak sadar bahwa mereka masih terpenjara tepatnya."
"Apa maksudnya?"
"Merdeka itu artinya bebas, Sekala. Bebas untuk berdiri sendiri, tidak terkena tuntutan, lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak berada di bawah kendali pihak tertentu. Jadi jika kamu masih berada di antara hal-hal yang aku sebutkan, berarti kamu belum merdeka."
Sekala mengerti. Namun untuk beberapa saat, dia tak berniat menimpali. Laki-laki itu malah memusatkan atensi pada lukisan Jingga yang hampir selesai, pada wajah tanpa ekspresinya, dan pada matanya yang kelam. Barangkali, Jingga memang sedang membicarakan dirinya sendiri.
Jingga tidak merdeka. Bahkan Sekala saja tahu itu. Sekala tahu ketika Ibu Jingga membuang seluruh alat-alat lukisnya, Sekala tahu ketika gadis itu tak pernah tersenyum atas segala pencapaiannya, dan Sekala bisa tahu dari kebiasaan aneh gadis itu di tengah malam.
"Kamu pasti sudah tahu, Sekala. Kita memang gak pernah berteman akrab. Tidak pernah mengobrol lebih banyak dari ini meski kita pernah sekelas selama enam tahun. Tapi aku yakin kamu tahu apa yang kumaksud," imbuh Jingga membenarkan dugaan-dugaan Sekala.
"Berarti ... bukankah kamu sedang bergerilya? Dengan ada di sini, berarti kamu sedang bergerilya, Jingga. Suatu saat kamu akan menang."
"Perang itu tentang kalah dan menang, Sekala. Walaupun aku bergerilya di sini, gak ada yang menjamin jika aku akan menang. Kemungkinan besarnya malah aku akan gugur. Aku sekarat untuk bisa menjadi pemenang. Bertahun-tahun aku di penjara dalam frasa 'membalas budi baik orang tua'. Nggak sulit kan untuk kamu menduganya?"
Tentu saja. Sekala mengangguk. "Tapi kemerdekaan itu hak semua orang, Jingga. Kamu berhak merdeka. Kamu berhak menolak hal-hal yang tidak kamu inginkan dan menyakiti kamu."
"Semuanya sudah terasa biasa aja, Sekala. Seperti yang kubilang, aku terpenjara, dan aku terbiasa. Tidak ada luka yang sangat menyakitiku, juga tak ada bahagia yang sangat membahagiakanku."
"Pantas kamu seperti sekarang. Bernyawa, pasti gak memiliki rasa."