Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dialog Dini Hari

8 November 2023   17:03 Diperbarui: 8 November 2023   17:06 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lomba 17-an hanya diikuti orang-orang yang merdeka, Sekala. Orang-orang yang merdeka, atau orang-orang yang tidak sadar bahwa mereka masih terpenjara tepatnya."

"Apa maksudnya?"

"Merdeka itu artinya bebas, Sekala. Bebas untuk berdiri sendiri, tidak terkena tuntutan, lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak berada di bawah kendali pihak tertentu. Jadi jika kamu masih berada di antara hal-hal yang aku sebutkan, berarti kamu belum merdeka."

Sekala mengerti. Namun untuk beberapa saat, dia tak berniat menimpali. Laki-laki itu malah memusatkan atensi pada lukisan Jingga yang hampir selesai, pada wajah tanpa ekspresinya, dan pada matanya yang kelam. Barangkali, Jingga memang sedang membicarakan dirinya sendiri.

Jingga tidak merdeka. Bahkan Sekala saja tahu itu. Sekala tahu ketika Ibu Jingga membuang seluruh alat-alat lukisnya, Sekala tahu ketika gadis itu tak pernah tersenyum atas segala pencapaiannya, dan Sekala bisa tahu dari kebiasaan aneh gadis itu di tengah malam.

"Kamu pasti sudah tahu, Sekala. Kita memang gak pernah berteman akrab. Tidak pernah mengobrol lebih banyak dari ini meski kita pernah sekelas selama enam tahun. Tapi aku yakin kamu tahu apa yang kumaksud," imbuh Jingga membenarkan dugaan-dugaan Sekala.

"Berarti ... bukankah kamu sedang bergerilya? Dengan ada di sini, berarti kamu sedang bergerilya, Jingga. Suatu saat kamu akan menang."

"Perang itu tentang kalah dan menang, Sekala. Walaupun aku bergerilya di sini, gak ada yang menjamin jika aku akan menang. Kemungkinan besarnya malah aku akan gugur. Aku sekarat untuk bisa menjadi pemenang. Bertahun-tahun aku di penjara dalam frasa 'membalas budi baik orang tua'. Nggak sulit kan untuk kamu menduganya?"

Tentu saja. Sekala mengangguk. "Tapi kemerdekaan itu hak semua orang, Jingga. Kamu berhak merdeka. Kamu berhak menolak hal-hal yang tidak kamu inginkan dan menyakiti kamu."

"Semuanya sudah terasa biasa aja, Sekala. Seperti yang kubilang, aku terpenjara, dan aku terbiasa. Tidak ada luka yang sangat menyakitiku, juga tak ada bahagia yang sangat membahagiakanku."

"Pantas kamu seperti sekarang. Bernyawa, pasti gak memiliki rasa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun