"Tapi setelah dewasa, mereka akan membenci sifat mereka sendiri setengah mati. Cantik dan baik?" Fau mendengus mengejek. "Apanya? Tidak semua yang baik itu baik, Kee."
      "Baru kali ini aku tidak mengerti isi dongengmu," ungkap Kee jujur. "Apa pesan moralnya?"
      "Entahlah. Kurasa... tidak semua yang baik itu baik, tapi tidak apa-apa untuk terus menjadi baik."
      Kee terdiam.
      "Sepertiku, Kee." Fau membenarkan.
      "Dengan menjadi baik, pria-pria itu memanfaatkanku. Mereka hanya ingin pulih, lalu melupakanku. Tidak ada yang ingin bertahan bersamaku, Kee. Pada akhirnya, semua orang akan meninggalkanku saat mereka sudah bisa kembali berjalan."
      Fau menarik nafas panjang. Dijatuhkannya kepalanya ke pinggiran meja kayu di ruang tengah rumah Kee. "Peri buruk rupa adalah peri yang kesepian, Kee," ulangnya bercerita. "Tidak ada yang ingin berteman dengannya, tidak ada yang menyukainya, kecuali kawanan anjing. Hanya kawanan anjing yang rela mengekorinya ke mana pun, dan bermain bersamanya. Karena itu peri buruk rupa merasa senang. Peri buruk rupa merawat kawanan anjing liar agar bisa kembali berjalan. Dengan tongkat ajaibnya, peri buruk rupa menyembuhkan anjing-anjing agar mereka hidup dengan baik. Sayangnya, anjing-anjing itu akan meninggalkannya setelah mereka bisa hidup dengan baik."
      "Peri buruk rupa seharusnya berhenti melakukannya," gumam Kee.
      Fau bangkit. Perempuan itu memandang dinding bercat abu muda di depannya yang banyak dipajangi foto---sepertinya berisi foto-fotonya dengan Kee. "Aku peri buruk rupa itu, Kee. Aku merawat para anjing, lalu mereka meninggalkanku. Tidak ada yang betah tinggal untuk waktu yang lama denganku. Tapi karena peri buruk rupa adalah peri yang baik, dia terus melakukannya."
      Sekali lagi, Kee merasa ada sesuatu yang nyeri di dalam dadanya. "Kau tahu apa yang paling jahat dari kawanan anjing liar, Fau?" tanyanya lirih.
      Fau berbalik. "Apa?" tanyanya.