"Fau, dengarkan aku!" titah Kee.
      Fau menurut. Mata bolanya menyoroti Kee sendu.
      "Berhenti. Berhentilah mengencani pria-pria bermasalah itu. Pada akhirnya, kau pun tahu, kau akan terluka. Tidak apa-apa jika kau tidak berkencan. Berkencan bukanlah satu-satunya pusat kebahagiaan di dunia ini," ceramah Kee.
      Fau mendorong kening Kee pelan. Gadis itu menggeleng kecil. "Aku akan mati kesepian jika mereka tidak ada, Kee," elaknya.
      Ah, dasar Fau!
      "Kau ini!" Kee membuang nafas besar. Gusar bukan main. "Kau punya Bibi sebaik Bibi Lu, dan kau punya---apa kau tidak menganggap aku ada dalam hidupmu, Fau?"
      "Kau hanya sahabatku, Kee. Bagaimana kau bisa mengatasi kesepian itu?"
      Itu bukan tamparan telak. Tidak juga penghinaan. Namun, Kee terdiam. Ada yang nyeri di dalam dadanya hingga Kee bahkan tidak sanggup menatap mata Fau. Setelah menjadikan Fau orang pertama yang ingin Kee lihat bahagia dan orang pertama yang tidak ingin Kee lihat terluka, bagaimana mungkin Fau mengatakan Kee tidak bisa mengatasi kesepiannya?
      ***
      Kee tidak pernah bisa marah kepada Fau. Sehebat apapun perdebatan mereka, sekesal apapun Kee kepada pria-pria yang mencampakkannya dan sikap bodohnya yang masih mau menerima mereka, Kee akan tetap membukakan pintu saat Fau mengadu kelaparan karena bibinya tidak ada di rumah. Kee akan tetap rela mengeluarkan banyak uang untuk taksi demi menjemput fau di tempat kerjanya ketika perempuan itu mengadu tidak bisa pulang karena kehujanan.
      Ya, satu kali ketukan Fau bisa mengundang Kee untuk lari terbirit-birit.