Namun, Rihga tidak mungkin mengiyakan begitu saja. Kanaya memberinya pertanyaan yang sangat Rihga inginkan jawabannya sejak gadis itu tiba-tiba mengaku menyukainya. Maka, Rihga ikut turun dan menyusulnya.
Persis seperti yang diduganya, Kanaya menoleh dan menatapnya dengan kening berlipat. Cahaya matahari yang menghunjam wajahnya, latar belakang toko-toko di belakangnya, serta bunyi lalu lalang kendaraan merefleskikan rutinitas mahasiswa di kota-kota besar.
Rihga memandanginya lama-lama.
"Kak Rihga turun di sini, atau mau menyampaikan sesuatu buat mematahkan ucapanku tadi?" tanyanya terus terang, masih dengan pembawaannya yang tenang.
Raut wajah kusut Rihga mengendur. Laki-laki itu menunduk sebentar untuk menatap Kanaya lagi setelahnya. "Aku gagal, Nay," akunya. "Lagi."
"Terus apa yang Kak Rihga lakukan? Ngamuk di depan Pak Brata atau banting proposal ke mukanya?" sahutnya.
"Proposalnya kubuang. Aku muak."
Bahu Kanaya merosot seketika. "Yaah, gitu aja nyerah." Suaranya berubah lirih.
Alis Rihga bertaut tak suka. "Aku bukan kamu, ya, Nay," tudingnya. "Aku bukan kamu yang masih bisa ketawa dan lanjut baca buku walau udah dimarahin habis-habisan sama Pak Brata. Aku juga bukan kamu yang bisa makan tenang di kantin setelah dicerca sama Pak Brata."
"Yup, Kak Rihga bener." Sekali lagi, si aneh itu---sebutan Rihga untuk nama baru Kanaya---mengaamiini perkataannya. "Mental setiap orang berbeda. Tapi bukannya itu gak sepantasnya dijadikan alasan untuk menyerah? Istilah 'kalau orang lain bisa, kenapa aku nggak?' itu ada benernya, loh, Kak Rihga. Karena setiap orang pasti punya alasan kenapa dia bertahan dalam sesuatu."
Kali ini, semesta sedikit unik. Baru saja Rihga mempertanyakan alasan-alasannya tetap hidup dan bertahan, sosok Kanaya tiba-tiba saja menyinggung hal yang sama.