Pertanyaan sederhananya, untuk apa dan siapa dia melakukan semua itu selama ini?
Angkot yang ditumpanginya berhenti lagi. Rihga menoleh, menatap siapa yang masuk. Gadis dengan tumpukan buku dan rambut kuncir kuda khasnya---seseorang yang amat dikenali Rihga. Segera saja Rihga membuang muka, tak ingin disapa.
"Hai, Kak Rihga!"
Namun, harapannya pupus.
Rihga menoleh. Menatap gadis yang duduk di depannya itu dengan tatapan bosan. "Apa?" tanyanya jengah.
Namanya Kanaya, dua tahun lebih muda darinya dan tengah berkutat dengan skripsinya juga---sama seperti Rihga andai dia tak menyerah dan membuang proposalnya ke tempat sampah. Sama sepertinya, Kanaya juga dibimbing dosen tua yang ingin disumpah serapahi Rihga itu. Bedanya, Kanaya memilki mental baja dan muka tembok untuk menghadapinya.
"Apa sekarang Kak Rihga udah gak boleh disapa lagi?" tanyanya polos.
"Boleh." Rihga menjawab jengah. Sungguh, semesta sepertinya tengah berlomba-lomba menyuguhkan hal-hal memuakkan kepadanya.
"Apa aku gak disapa balik?"
"Halo, Kanaya!" sapa Rihga datar.
Kanaya mangut-mangut. "Ekspresi gak relanya terlalu kentara, Kak Rihga," ujarnya.