Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Salahnya Ibu (Cerpen)

22 Juni 2023   10:21 Diperbarui: 22 Juni 2023   10:55 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Bu, semenyakitkan apa di rumah?"

            ***

            Aku anak terakhir dari empat orang bersaudara. Anak Ibu dan ayah yang paling tua adalah kakak perempuanku. Dia menikah saat aku masih kelas 1 SMP. Disusul kakak laki-lakiku dua tahun setelahnya. Tiga tahun berselang, kakakku yang paling muda juga menikah. Mereka orang-orang yang sIbuk bekerja. Karena itu, alih-alih tinggal di rumah masing-masing, rumah orang tuaku lebih sering jadi tempat singgah yang kemudian menjadi tempat menetap.

            Hampir seluruh aktivitas mereka dimulai dan diakhiri di rumah orang tuaku---tidak terkecuali mengurus anak-anak yang notabenenya adalah keponakan-keponakanku. Aku tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan seriuh apapun rumah saat aku datang, aku tidak begitu peduli. Hanya saja, tuntutan pekerjaan membuatku harus mencari tempat yang lebih tenang dan dekat dengan kantor.

Toh, aku hanya punya agenda rutin pulang tiga tahun sekali---hari raya ied, hari raya haji, dan tahun baru. Kalaupun mendadak aku tiba di depan rumah, artinya hanya satu; aku muak bekerja.

            Aku hanya tidak mengira jika rumah yang selalu kulihat baik-baik saja, juga menyimpan badai di dalamnya. Badai itu berbentuk Ibu. Badai yang berasal dari laut tenang, teratur, dan penyabar. Badai yang tidak pernah sekalipun mengomel apalagi meninggikan suara.

            Benar. Marah, kecewa, dan patah seorang pendiam ternyata sangat berbahaya.

            "Minggu lalu, Ibu menyusun buku-bukumu di rak, Rui," cerita Ibu dalam perjalanan pulang kami ke rumah, naik bus.

            Pertanyaan retorikku siang tadi tidak dijawab. Ibu malah mengemasi barang-barangnya dan mengajakku pulang. Kata Ibu, orang-orang rumah pasti menunggu. Padahal, aku sama sekali tidak memberitahu bahwa aku sudah bertemu Ibu.

            "Apa ada yang menempati kamarku?" tanyaku.

            Ibuku menggeleng. "Ibu menjaganya persis seperti Ibu menjagamu. Tetapi kadang, Pia datang meminjam buku-bukumu. Ibu pikir, sudah wajar membaca roman di usianya. Pia tidak mengenalimu sebaik Ibu, Rui. Pia tidak tahu bahwa kau menyusun buku-bukumu berdasarkan warna sampulnya. Ibu tidak tahu kapan kau pulang, tetapi Ibu membereskannya agar tidak ada amarah yang kau simpan dalam diammu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun