Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Salahnya Ibu (Cerpen)

22 Juni 2023   10:21 Diperbarui: 22 Juni 2023   10:55 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juara Favorit dalam Lomba Tulis Puisi Tingkat Nasional Oleh Ruang Lomba Nasional

Ibu hilang. Kabar itu kuterima 24 jam setelah seluruh orang rumah menyadari bahwa Ibu tidak ada di rumah.

Bagaimana Ibu bisa hilang dan kapan tepatnya Ibu meninggalkan rumah, tidak ada satupun yang tahu. Tidak ayah, kedua kakak, satu abang, tiga ipar, maupun empat keponakanku yang tinggal seatap dengan Ibu.

Apalagi aku.

Baca juga: Cerpen: "Bertaut"

Kalau saja ayah tidak menyadari pintu depan dan pagar yang terbuka di pagi hari, serta menghilangnya kacamata Ibu dari lemari tivi, seluruh orang rumah mungkin telah mengira Ibu diculik jin, hantu, atau makhluk sejenisnya---mereka tidak akan melakukan penculikan sepiawai itu.

Aku kalang kabut. Meninggalkan episode 12 drama yang ingin kutonton di Sabtu pagi itu---healing akhir pekanku setelah hari-hari kerja yang menyiksa---aku lantas memesan tiket kereta untuk pulang ke rumah. Tidak lupa kubekali diriku dengan sebungkus roti dan sebotol air mineral untuk tiga jam perjalanan itu.

Usut punya usut, beginilah kira-kira kronologi menghilangnya Ibu. Ayah yang pekan lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-65 tahun, bangun saat matahari sudah tinggi. Ibu tidak membangunkannya. Ibu juga tidak ada di dapur atau teras depan, apalagi halaman belakang. Awalnya, ayah berbaik sangka bahwa barangkali, Ibu tengah pergi ke kedai di ujung jalan membeli gula atau telur untuk sarapan.

Namun, membeli macam apa yang menyita waktu dari pagi hingga tengah hari?

"Abang dan kakak-kakakmu sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ketemu. Ke rumah adik Ibumu, ke rumah peninggalan nenek dan kakekmu, bahkan menelepon adik Ibumu yang di luar kota---siapa tahu Ibumu nekat pergi ke sana seorang diri," cerita ayah di telepon tadi.

Ini aneh. Sungguh.

Selama dua puluh enam tahun, aku mengenal Ibu sebagai sosok yang tenang, teratur, dan sedikit pendiam. Ibu tidak senang bergosip atau saling menyindir dengan tetangga, Ibu tidak suka meladeni hal-hal tidak perlu, dan Ibu selalu menjadi penengah dalam masalah apapun yang terjadi di rumah. Selama dua puluh enam tahun, aku memandang Ibu sebagai manusia 'tanpa masalah'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun