Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takut

5 Maret 2023   11:53 Diperbarui: 22 Juni 2023   10:23 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "Kalau tiba-tiba kereta ini menabrak sesuatu dan kita semua mati, aku tidak keberatan."

            Bertepatan dengan itu, kereta berhenti. Harianja berpegangan dengan panik. Keningnya berpeluh. Sementara gadis di sebelahnya masih tampak tenang tetapi juga... muak. Ketegangan di wajah Harianja terbaca gadis di sebelahnya. Usai kereta kembali berjalan, gadis itu menudingnya dengan satu pertanyaan.

            "Keretanya hanya berhenti di stasiun, tetapi kau sepanik itu, Pak. Apa kau mengkhawatirkan istri dan anakmu yang menunggumu? Ah, hidupmu tampak lebih mudah dariku."

            "Aku tidak menikah."

            "Tetapi kau bekerja. Kau tampak seperti orang kaya."

            "Tidak semua orang kaya memiliki hidup yang mudah." Buktinya, Harianja cemas hanya karena perkara kematian.

            Gadis itu mengangguk-angguk. "Aku tahu. Orang kaya lebih takut berjalan seorang diri di malam hari daripada orang miskin. Kau juga pasti seperti itu. Menjadi sepertimu pasti tidak mudah."

            "Kau terlalu banyak memberi petuah untuk ukuran seseorang yang membenci hidup."

            "Kau punya pilihan untuk mendengarkan atau mengabaikan, Pak. Tapi ingatlah ini, dalam hidup kau punya dua pilihan; menemukan seseorang yang akan menemani masa tuamu, atau mati muda. Aku sudah kehilangan kesempatan yang pertama dan berharap pilihan ke-dua segera datang. Kuharap kau tidak menjalani masa tuamu dengan menyedihkan."

            Harianja tidak menanggapi lagi. Bahkan hingga kereta berhenti di stasiun terakhir, Harianja enggan buka suara. Perlu dia akui, meski amat muda, ucapan gadis muda itu adalah kebenaran yang sulit dia tampik. Satu yang dia sadari betul, dia dan gadis itu berdiri di dua titik yang berbeda; timpang.

            ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun