Suatu hari, di perjalanan pulang setelah lembur bekerja, Harianja bertemu seorang gadis di kereta---Harianja sengaja naik kereta hari itu karena sudah terlalu lelah untuk mengemudi seorang diri di Sabtu malam yang pasti ramai pengguna jalan. Mereka duduk bersebelahan. Gadis itu tampak jauh lebih muda. Kantung matanya gelap, rambutnya dicepol asal, di pangkuannya ada banyak sekali buku, dan raut wajahnya menyuarakan satu hal; "aku akan menyumpah-serapahi siapapun yang berani menyapa atau menyentuhku."
      Hidup memang mengenaskan. Jika gadis semuda itu saja tampak kesulitan dalam hidupnya, apalagi Harianja yang sudah melihat dan menghadapi kejadian-kejadian menyebalkan dalam hidup.
      "Akan lebih mudah jika aku mati saja, Pak." Gadis itu menyeletuk secara tiba-tiba tanpa menatap Harianja. Kontan, pria mengedarkan pandangannya. Hanya dirinya yang duduk dekat dengan gadis itu.
      "Kau bicara denganku?" tanya Harianja hati-hati.
      Pertanyaan sia-sia yang berakhir menguap dan tersangkut di langit-langit kereta karena gadis itu mengabaikannya.
      "Tapi aku terlalu takut dengan dosa," kata gadis itu lagi.
      Harianja diam. Dia menyimak.
      "Mendiang Ibuku pernah mengatakan bahwa Tuhan tidak menyukai hamba-hamba-Nya yang mendahului takdir. Tuhan bisa murka dan menyeretku ke neraka. Meski sudah dewasa, dongeng itu tetap mengerikan."
      Harianja pernah mendengar hal yang sama dari gurunya ketika SMA. Sampai sekarang, Harianja tidak tahu apa dia harus memercayainya atau tidak. Jika diselaraskan dengan banyak kondisi pelik yang dialami manusia, dongeng itu tampak tidak adil---setidaknya di mata Harianja selama ini.
      "Tapi, Pak---" Gadis itu menoleh. Matanya memerah menahan tangis. Sementara Harianja hanya tercengang, bingung sekaligus terkejut dengan gerakan mendadak itu. "Coba kau pikir, kau hidup di dunia yang menyebalkan ini. Kadang kau bertanya-tanya, untuk apa dan siapa kau hidup? Kau bertanya-tanya apa akhir dari semua hari-hari melelahkan yang kau jalani? Lalu saat kau berpikir untuk mengakhirinya lebih dulu, orang-orang mendiktemu sebagai orang yang lemah iman. Orang-orang akan langsung beranggapan bahwa ruhmu langsung dimasukkan ke neraka. Kau sudah menderita di dunia, dan kau juga akan menderita di neraka. Hidup memang tidak adil."
      "Tapi kenapa kau terus menjalaninya?" sahut Harianja hati-hati.