Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Suatu Hari

27 November 2022   19:32 Diperbarui: 27 November 2022   19:34 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama ini, Amaral selalu merasa bahwa Felara adalah kekasih yang baik. Kekasih yang manis, pengertian, tidak banyak menuntut, juga selalu ada di saat-saat tersulit. Bagi Amaral lagi, hubungan mereka adalah hubungan paling sehat yang jauh dari debat. Tidak meracuni, sebaliknya mereka malah menjadi tameng untuk satu sama lain.

Namun,

Suatu hari, Felara meneleponnya dengan suara berat. Pukul dua dini hari. Ada suara ingar-bingar yang terlalu kentara di belakangnya. Tidak perlu menebak terlalu jauh--meski hal itu cukup mencengangkan--Amaral bisa tahu di mana Felara berada.

"Aral, sejujurnya aku gak merasa bahagia ketika bersamamu," racaunya berat. Denting gelas dan ujung sepatu yang terbentur meja terdengar.

"Setelah menghabiskan waktu bersamamu, aku tidak merasakan kebahagiaan sepasang kekasih pada umumnya," tambahnya lagi.

Amaral terkejut. Tentu saja.

Ponselnya terlepas dari tangan. Awalnya, Amaral kira dirinya tengah bermimpi. Terlalu larut untuk meyakini perkataan Felara sebagai suatu kenyataan. Namun, saat Amaral mengambil ponselnya lagi dan panggilan dengan Felara masih tersambung, Amaral yakin bahwa yang didengarnya bukanlah mimpi.

Baca juga: Cerpen: "Bertaut"

Hanya saja, Amaral tidak menyangka.

Baca juga: Minggu Warna Ungu

Bukan hanya karena pengakuan Felara, Amaral juga tidak menyangka jika saat ini kekasihnya itu berada di sebuah kelab malam. Detak jantungnya tak lagi beraturan. Kepalanya mendadak sakit, tetapi tidak sesakit hatinya saat ini.

Felara adalah gadis manis yang baik hati. Hobinya belajar dan menghabiskan seluruh sisa waktunya untuk berada di perpustakaan. Kekasihnya itu hampir tanpa cela---karena itulah Amaral jatuh cinta padanya. Jangankan kelab malam, dia bahkan jarang berkumpul-kumpul tidak jelas dengan teman-teman sekelasnya.

"Lara, kau di mana?"  tanyanya gusar.

Namun, alih-alih menjawab pertanyaannya, gadis itu malah mencercanya dengan kalimat menyakitkan berikutnya. "Kau tahu, Aral, aku hampir tidak menemukan diriku saat bersamamu. Aku tidak melihat diriku di matamu.

Padahal, sejak lama sekali gadis itu tersimpan di seluruh hatinya. Felara hanya tidak melihatnya, dan Amaral tidak menyangka itu. Maka, ditelannya salivanya pahit. Bibirnya bergetar menahan tangis. Bagaimana mungkin Felara yang terlihat mencintainya bisa memberikan pengakuan sekeji itu?

"Di satu sisi, aku tidak mau menyakitimu, Aral. Tapi aku juga tidak mau terluka lebih jauh karenamu," ungkapnya lagi.

Lengkap sudah. Felara memang hanya gadis baik hati yang menerima keberadaan Amaral, tetapi tak pernah berhasil memiliki hati gadis itu sepenuhnya. Lalu, di waktu-waktu terjepit dan gusar, dia akan mengakui betapa menyedihkannya dirinya.

"Tidak apa-apa, Lara. Kau mabuk. Kau hanya tengah meracau. Tunggu di sana, aku akan menjemputmu," kata Amaral menyudahi. Disusutnya semua kesedihannya. Dunia Felara pasti sedang tidak baik-baik saja. Dan, Amaral akan menolak semua hal yang dikatakannya.

Mereka---harus---masih baik-baik saja.

Suatu hari yang lain, tepat hari ke-72 usai kejadian menelepon dari kelab malam yang dilupakan Felara begitu saja, gadis itu meminta Amaral menemuinya. Seperti biasa, di sebuah lapangan hijau tempat Felara sering menghabiskan hari Minggunya dengan membaca buku terbaru.

Wajahnya berseri. Rumput hijau, langit biru, dan matahari amat cerah sore itu. Anehnya, Felara mengenakan gaun putih sebatas betis---Felara tidak suka warna putih karena akan mudah kotor. Lebih aneh lagi ketika rambutnya yang selama ini kerap dikuncir, dibiarkan tergerai. Manis, masih. Namun, Amaral seperti melihat Felara yang lain. Felara dengan jiwa yang lain.

"Aral, apa kau baik-baik saja?" tanyanya membuka obrolan. Tarikan-tarikan di sudut bibirnya belum terlepas. Felara tampak sangat senang.

"Aku baik, Lara. Tapi kau tampak lebih baik." Amaral menyahut. Menyuguhkan seluruh perhatiannya, dia membukakan tutup botol minum milik Felara, lalu menyerahkannya.

"Iya, aku merasa sangat baik. Ada banyak hal-hal baik akhir-akhir ini yang kudapatkan,"  katanya.

Amaral bisa melihatnya dengan jelas. "Setelah di sini, denganku, apa kau masih bahagia, Lara?"

Cukup lama Felara terdiam. Gadis itu menyelami mata Amaral, lalu mengangguk. "Aku masih bahagia," sahutnya tenang.

Namun, Amaral tahu, bukan dirinya yang membuat Felara senang. Bahkan sudah lama, mungkin sudah lebih dari 72 hari, dia gagal membuat Felara senang. Gadis yang masih kekasihnya itu membawa kesenangannya dari tempat lain, lalu menunjukkannya pada Amaral. Seolah mempertegas bahwa benar, bersama Amaral tak membuatnya bahagia.

"Kau ingat Lara, katamu cinta adalah ketika kau melihat dirimu yang bahagia di dalam mata kekasihmu," ungkap Amaral. Felara senyap. Menunggu detik demi detik mendebarkan. "Akhir-akhir ini aku tidak bisa melihatnya, Lara. Sebaliknya, aku melihat diriku yang kesepian dan menyedihkan di matamu."

Felara masih senyap. Amaral sangat berharap kekasihnya itu memgingat setidaknya satu atau dua saja kenangan mereka. Paling tidak, anggaplah Amaral jahat, Amaral ingin Felara ingat kata-kata menyakitkannya saat di telepon waktu itu. Atau jika semua inginnya terlalu muluk, Amaral hanya ingin apapun yang merenggut jiwa Felara yang lama, segera melepaskan gadis itu. Sebab, sungguh Amaral merindukan Felara yang lama. Atau tepatnya, Amaral merindukan Felara yang menyembunyikan fakta bahwa gadis itu mencintainya.

"Mengapa begitu?" tanyanya akhirnya. Suaranya berubah parau.

"Bukankah seharusnya aku yang bertanya, Lara?"

Felara bungkam sepenuhnya. Namun, Amaral tak ingin menyerah. Nyatanya, berpura-pura bahwa mereka masih baik-baik saja juga tak semenyenangkan itu. Pura-pura menjadikan racun sebagai mineral pengusir dahaga juga sama menyiksanya. Setidaknya, jika saat itu Felara bimbang, Amaral ingin mengajaknya pulang sekarang. Amaral ingin menyapu semua gusar kekasihnya, memeluknya lama-lama, agar mereka kembali baik-baik saja. Agar Amaral, tak merasa semenyedihkan ini sebab mencintai Felara terlalu besar dari kadar seharusnya.

"Lara, mungkin kau lupa," kata Amaral menjelaskan. "Dua bulan lalu kau pergi ke kelab malam. Aku tahu, itu bukan dirimu. Kurasa kau tertekan dan cemas, karena itu kau pergi ke sana, dan... kau... kau meracau, Lara."

"Apa aku menyakitimu?" Felara menanggapi cepat.

Sayangnya, perasaan cinta Amaral yang terlalu besar menyulitkannya untuk mengangguk. Dia hanya bergumam lama, antara tak ingin menyakiti Felara dan iba dengan dirinya sendiri.

"Kau hanya merasa... akhir-akhir ini kau bilang keadaannya sulit untukmu. Aku mungkin menyulitkanmu, karena itu aku memberimu lebih banyak waktu untuk menikmati hari-harimu seorang diri."

Sorot mata Felara berubah kosong. Gadis itu menautkan jari-jemarinya di atas meja, dan menghela nafasnya satu-persatu.

"Aku tidak mengerti, Aral. Aku bahkan tidak mengingat apa aku pernah pergi ke sana atau tidak. Akhir-akhir ini aku menjadi sangat pelupa," sahut Felara.

Amaral baru sadar, minuman yang dia bukakan untuk kekasihnya itu belum tersentuh. Apel yang dipotong-potong Felara sebelumnya pun belum disentuh. Namun, Amaral masih ingin tabah. Dia masih bersikeras menabung banyak hal untuk Felara, untuk hidup bersama Felara bagaimanapun keadaannya.

"Kadang aku seperti tidak mengenal diriku, Aral," keluhnya. "Di saat-saat seperti itu aku selalu teringat Naratama. Kurasa, aku merindukannya. Dulu sekali, saat aku dalam situasi perasaan tidak menyenangkan, Naratama akan berusaha menghiburku. Dia akan memintaku membaca buku, mendengarkan musik, atau melakukan apa saja yang membuat perasaanku membaik. Tapi sekarang sepertinya hal itu tidak berlaku. Aku melakukan semuanya, perasaanku tetap tak membaik. Aku merasa ada yang hilang, tetapi aku tak bisa mencarinya. Parahnya, aku bahkan tak tahu apa yang hilang itu."

Felara berkelakar tanpa menatap Amaral. Tanpa melihat wajah sendu dan terluka Amaral. Sejujurnya, nama Naratama tak pernah hadir dalam waktu 7 tahun perjalanan mereka. Amaral tidak mengenalnya. Felara tidak pernah menceritakannya, selain hari ini. Di antara ketakutan-ketakutan atas kehilangan Felara, Amaral juga merasa bingung.

Sebenarnya siapa gadis yang menjadi kekasihnya ini?

Setelah 7 tahun, mengapa Amaral tak benar-benar mengenalnya?

"Mungkin karena tidak ada Naratama, semua usahaku jadi sia-sia. Berbeda dengan saat bersama Naratama," katanya lagi.

Amaral mengulas senyum pahitnya. Cintanya terlalu besar. Terlalu gila. "Apa kau bahagia saat dengannya, Lara?" tanyanya.

"Sangat."

"Kalau begitu, aku akan mengantarmu padanya."

Suatu hari setelahnya, setelah melewati hari-hari biru tanpa Felara, Amaral menerima undangan pernikahan Felara dan pria impiannya, Naratama. Sedih, tentu saja. Namun, Amaral juga senang karena Felara menemukan bahagianya. Meski tak mampu berhadir untuk hari bahagia Felara, Amaral tetap melangitkan doa untuknya.

Sayangnya, doa Amaral tak berjalan lama.

Suatu hari berikutnya, surat lain menyambangi kediaman Amaral. Sebuah foto monokrom dan tulisan tangan sederhana. Hari-hari biru Amaral berubah kelam. Gulita. Untuk kesekian kali, ditangisinya perempuan yang sama. Felara ada dalam foto itu. Duduk membelakangi kamera, menghadap jendela besar, dengan gaun putih dan rambut hitam tergerai, di ruangan putih tanpa perabot.

Monokrom bukanlah hasil suntingan kamera.

Isi tulisan tangan itu adalah alamat rumah Felara. Entah apa yang telah terjadi, Amaral tahu di sana tak ada keberadaan Naratama.

Berita paling buruk datang setibanya Amaral di rumah itu. Naratama telah berpulang kepada Sang Pencipta. Pria yang bahkan belum sempat menerima ucapan terima kasih dan sumpah serapah dari Amaral, sudah meninggalkan Felara. Nyatanya, melihat Felara kehilangan jiwanya karena ditinggal pria yang dicintainya sama sekali tak mengubah cinta Amaral.

Benar-benar bodoh.

Benar-benar buta.

"Lara, ternyata aku tak mengenalmu," kata Amaral. Felara dengan mata cekung dan bibir pucat itu tak menyahut. Barangkali, dia pun tak sadar akan keberadaan Amaral di sana.

"Hatimu juga sangat dalam, Lara. Jangankan tiba di dasarnya, mungkin aku bahkan belum menempuh setengah perjalanan." Amaral melanjutkan dengan sedih.

Dan, terkuaklah semuanya.

Lewat cerita ibu Felara, Amaral tahu segala tentang Naratama dan lara di dalam hati Felara.

"Naratama adalah teman masa kecilnya, Aral. Dia menyukainya seperti orang gila. Dia rela jatuh cinta meski terluka setiap saat. Sayangnya, mereka tidak bisa bersama. Naratama tidak ingin bersamanya."

Sekarang, Amaral tak hanya ingin menyumpah serapahi pria itu. Naratama juga ingin memukul kepalanya sekuat tenaga, andai pria itu belum tiada.

"Karena itu, Felara selalu bingung. Dia adalah kekasihmu, aku tahu hal itu. Tapi bukannya mencari bahagia saat bersamamu, Felara yang keras kepala malah sering mencari bahagianya di diri Naratama, lalu membawanya kepadamu. Itu tidak adil."

Amaral tahu. Namun, dia tak begitu terluka. Setidaknya, dirinya masih berada dalam hal-hal yang ingin dikunjungi Felara.

"Kau sangat baik, Aral," kata ibu Felara menyudahi. Sore itu, di selasar rumah mereka yang menyajikan keindahan pepohonan pinus dengan udara yang segar.

Sebab Amaral sebaik itu, dia memilih tinggal. Amaral memilih kembali pada Felara. Menemaninya duduk berdua di depan jendela besar, menyediakan kertas dan pena untuk coretan-coretan tangannya yang kurus, merawat dan menyisiri rambutnya, hingga bercerita seorang diri---apapun bersama Felara, akan diterima Amaral dengan sepenuh hati.

Setiap hari, Amaral menggumamkan kalimat yang sama. "Baik-baiklah, Lara. Hiduplah semaumu. Sesuka perasaanmu. Kau hanya perlu percaya bahwa kau tidak sendirian. Aku akan di sini, mencintaimu, sampai aku tiada."

Doa Amaral menjadi nyata.

Suatu hari di waktu yang telah berjalan sangat lama, mereka mati berdua.

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun