"Hatimu juga sangat dalam, Lara. Jangankan tiba di dasarnya, mungkin aku bahkan belum menempuh setengah perjalanan." Amaral melanjutkan dengan sedih.
Dan, terkuaklah semuanya.
Lewat cerita ibu Felara, Amaral tahu segala tentang Naratama dan lara di dalam hati Felara.
"Naratama adalah teman masa kecilnya, Aral. Dia menyukainya seperti orang gila. Dia rela jatuh cinta meski terluka setiap saat. Sayangnya, mereka tidak bisa bersama. Naratama tidak ingin bersamanya."
Sekarang, Amaral tak hanya ingin menyumpah serapahi pria itu. Naratama juga ingin memukul kepalanya sekuat tenaga, andai pria itu belum tiada.
"Karena itu, Felara selalu bingung. Dia adalah kekasihmu, aku tahu hal itu. Tapi bukannya mencari bahagia saat bersamamu, Felara yang keras kepala malah sering mencari bahagianya di diri Naratama, lalu membawanya kepadamu. Itu tidak adil."
Amaral tahu. Namun, dia tak begitu terluka. Setidaknya, dirinya masih berada dalam hal-hal yang ingin dikunjungi Felara.
"Kau sangat baik, Aral," kata ibu Felara menyudahi. Sore itu, di selasar rumah mereka yang menyajikan keindahan pepohonan pinus dengan udara yang segar.
Sebab Amaral sebaik itu, dia memilih tinggal. Amaral memilih kembali pada Felara. Menemaninya duduk berdua di depan jendela besar, menyediakan kertas dan pena untuk coretan-coretan tangannya yang kurus, merawat dan menyisiri rambutnya, hingga bercerita seorang diri---apapun bersama Felara, akan diterima Amaral dengan sepenuh hati.
Setiap hari, Amaral menggumamkan kalimat yang sama. "Baik-baiklah, Lara. Hiduplah semaumu. Sesuka perasaanmu. Kau hanya perlu percaya bahwa kau tidak sendirian. Aku akan di sini, mencintaimu, sampai aku tiada."
Doa Amaral menjadi nyata.