"Sangat."
"Kalau begitu, aku akan mengantarmu padanya."
Suatu hari setelahnya, setelah melewati hari-hari biru tanpa Felara, Amaral menerima undangan pernikahan Felara dan pria impiannya, Naratama. Sedih, tentu saja. Namun, Amaral juga senang karena Felara menemukan bahagianya. Meski tak mampu berhadir untuk hari bahagia Felara, Amaral tetap melangitkan doa untuknya.
Sayangnya, doa Amaral tak berjalan lama.
Suatu hari berikutnya, surat lain menyambangi kediaman Amaral. Sebuah foto monokrom dan tulisan tangan sederhana. Hari-hari biru Amaral berubah kelam. Gulita. Untuk kesekian kali, ditangisinya perempuan yang sama. Felara ada dalam foto itu. Duduk membelakangi kamera, menghadap jendela besar, dengan gaun putih dan rambut hitam tergerai, di ruangan putih tanpa perabot.
Monokrom bukanlah hasil suntingan kamera.
Isi tulisan tangan itu adalah alamat rumah Felara. Entah apa yang telah terjadi, Amaral tahu di sana tak ada keberadaan Naratama.
Berita paling buruk datang setibanya Amaral di rumah itu. Naratama telah berpulang kepada Sang Pencipta. Pria yang bahkan belum sempat menerima ucapan terima kasih dan sumpah serapah dari Amaral, sudah meninggalkan Felara. Nyatanya, melihat Felara kehilangan jiwanya karena ditinggal pria yang dicintainya sama sekali tak mengubah cinta Amaral.
Benar-benar bodoh.
Benar-benar buta.
"Lara, ternyata aku tak mengenalmu," kata Amaral. Felara dengan mata cekung dan bibir pucat itu tak menyahut. Barangkali, dia pun tak sadar akan keberadaan Amaral di sana.