Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Suatu Hari

27 November 2022   19:32 Diperbarui: 27 November 2022   19:34 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lara, kau di mana?"  tanyanya gusar.

Namun, alih-alih menjawab pertanyaannya, gadis itu malah mencercanya dengan kalimat menyakitkan berikutnya. "Kau tahu, Aral, aku hampir tidak menemukan diriku saat bersamamu. Aku tidak melihat diriku di matamu.

Padahal, sejak lama sekali gadis itu tersimpan di seluruh hatinya. Felara hanya tidak melihatnya, dan Amaral tidak menyangka itu. Maka, ditelannya salivanya pahit. Bibirnya bergetar menahan tangis. Bagaimana mungkin Felara yang terlihat mencintainya bisa memberikan pengakuan sekeji itu?

"Di satu sisi, aku tidak mau menyakitimu, Aral. Tapi aku juga tidak mau terluka lebih jauh karenamu," ungkapnya lagi.

Lengkap sudah. Felara memang hanya gadis baik hati yang menerima keberadaan Amaral, tetapi tak pernah berhasil memiliki hati gadis itu sepenuhnya. Lalu, di waktu-waktu terjepit dan gusar, dia akan mengakui betapa menyedihkannya dirinya.

"Tidak apa-apa, Lara. Kau mabuk. Kau hanya tengah meracau. Tunggu di sana, aku akan menjemputmu," kata Amaral menyudahi. Disusutnya semua kesedihannya. Dunia Felara pasti sedang tidak baik-baik saja. Dan, Amaral akan menolak semua hal yang dikatakannya.

Mereka---harus---masih baik-baik saja.

Suatu hari yang lain, tepat hari ke-72 usai kejadian menelepon dari kelab malam yang dilupakan Felara begitu saja, gadis itu meminta Amaral menemuinya. Seperti biasa, di sebuah lapangan hijau tempat Felara sering menghabiskan hari Minggunya dengan membaca buku terbaru.

Wajahnya berseri. Rumput hijau, langit biru, dan matahari amat cerah sore itu. Anehnya, Felara mengenakan gaun putih sebatas betis---Felara tidak suka warna putih karena akan mudah kotor. Lebih aneh lagi ketika rambutnya yang selama ini kerap dikuncir, dibiarkan tergerai. Manis, masih. Namun, Amaral seperti melihat Felara yang lain. Felara dengan jiwa yang lain.

"Aral, apa kau baik-baik saja?" tanyanya membuka obrolan. Tarikan-tarikan di sudut bibirnya belum terlepas. Felara tampak sangat senang.

"Aku baik, Lara. Tapi kau tampak lebih baik." Amaral menyahut. Menyuguhkan seluruh perhatiannya, dia membukakan tutup botol minum milik Felara, lalu menyerahkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun