Mohon tunggu...
Herman Hidayat
Herman Hidayat Mohon Tunggu... -

Pengobral mimpi, Pembangkang, Pemburu senja.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berwisata ke Desa Kopi, Desa yang Tak Pernah Tidur

4 Desember 2017   14:32 Diperbarui: 4 Desember 2017   16:22 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Produk Kopi Luwak Gombengsari. ©Azzah Fauziyah


Perjalanan dari Malang menuju Banyuwangi memerlukan tenaga ekstra, belum lagi waktu itu akhir pekan. Butuh waktu kurang lebih 8 jam untuk sampai ke tujuan dengan jalanan yang berbelok dan bergelombang, belum lagi kendaraan berat seperti truk gandeng, tronton, bis memenuhi tiap ruas-ruas jalan.

Jalur yang dilewati untuk sampai di Banyuwangi--dari Malang adalah Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo dan Besuki. Setelah memasuki daerah Probolinggo, kita akan disuguhi pemandangan pantai khas pesisir dan seketika hawa dingin Kota Malang hilang diterjang riak-riak angin pantai.

***

Siang itu rasanya penat bukan main. setelah melakukan riset di Kawasan Gunung Ijen agenda selanjutnya ialah mengunjungi Desa Gombengsari. Dari Gunung Ijen menuju Desa Gombengsari memerlukan waktu sekitar 45 menit. Memang, tujuan saya dan rombongan datang ke Banyuwangi dalam rangkaian riset untuk beberapa artikel ilmiah.

Desa Gombongsari berada di Timur Kabupaten Banyuwangi, Kecamatan Kalipuro. Setelah melewati jalan kecil yang sedikit menanjak akhirnya rombongan sampai di Desa Gombengsari.

Desa Gombengsari menawarkan wisata yang berbeda, jika Kabupaten Banyuwangi terkenal dengan wisata pantai, di Desa Gombensari pengujung akan melihat wisata pedesaan. Hamparan kebun kopi dan peternakan kambing yang menjadi Objek Wisatanya. Pengunjung juga dapat melihat dari pemetikan kopi, penggilingan sampai menjadi secangkir Kopi yang pekat.

 "Disini itu orang-orang matanya melek terus, orang-orang disni bisa minum kopi sehari lima cangkir tidak pernah bosan-bosan. Malamnya melek, paginya panen kopi atau memerah susu (kambing)", Papar Pak Haryono, Salah seorang pelopor pengembangan Desa Wisata Gombengsari.

Pak Haryono yang lebih populer disapa Pak HO menjelaskan pada awal pengembangan Desa Wisata Kopi ini sempat ditentang oleh masyarakat sekitar "Awalnya kita ditentang habis-habisan, Mas. Segala proses dipersulit, tetapi kita tetap jalan terus dan akhirnya sekarang masyarakat bisa menikmati hasilnya. Sekarang kita punya kopi sendiri, kopi Lego", Jelasnya sambil menyalakan sebatang rokok.

Kopi Lego, Lego adalah akronim dari Lerek dan Gombengsari, memang belum sefamiliar di telinga banyak orang, tidak seperti kopi-kopi yang berada dipasaran saat ini seperti Kintamani, Toraja ataupun Aceh Gayo. Namun melalui Desa Wisata Gombengsari para petani kopi sukses memperkenalkan produk kopi andalan mereka bahkan sampai ke Mancanegara.

"Ini mas kopinya", Ujar salah seorang anggota Pak HO, yang membawakan tiga cangkir Kopi.

"Ini kopi susu bukan sembarangan, susunya dari susu kambing. Ayo dicoba", Timpal Pak HO

Sembari ngobrol saya dan teman saya langsung menyesap kopi yang disediakan. "ini enak pak! Tidak amis sama sekali", Kata salah seorang teman saya.

Melalui penjelasan Pak HO susu kambing yang diolah di Desa Gombengsari memiliki teknik pengolahan yang khusus agar susu yang dihasilkan tidak berbau amis seperti susu kambing pada umumnya. Integrasi antara perkebunan kopi dan peternakan kambing juga di optimalkan, kotoran kambing dimanfaatkan sebagai pupuk untuk penanaman pohon kopi.

Produk Kopi Luwak Gombengsari. ©Azzah Fauziyah
Produk Kopi Luwak Gombengsari. ©Azzah Fauziyah
Selain Robusta, kopi luwak juga menjadi produk yang paling diminati di Desa. Uniknya kopi yang dihasilkan dari luwak merupakan hasil dari luwak liar. Konon, luwak liar memiliki karateristik tersendiri dalam memilih biji kopi untuk dimakan. Hasil pencernaan biji kopi yang telah dimakan luwak inilah yang nantinya di kumpulkan dan kemudian di proses.

Setelah kopi yang disuguhi tandas, pak HO membawa kami berjalan untuk melihat proses penyangraian. Proses penyangraian tidak menggunakan alat modern, cukup menggunakan kuali dan kayu bakar.

Setiap kuali mempunyai kapasitas seperempat kilogram biji kopi. "Sengaja kita tidak memakai alat roasting yang modern, ini saja sudah cukup, murah, tradisonal, lebih enak rasanya". Terang pak HO. "Inilah salah satu daya tarik wisatawan untuk datang kesini, melihat proses penyangraian kopi", Lanjutnya.

Proses Penyangraian Kopi Lego © Muhammad Iqbal
Proses Penyangraian Kopi Lego © Muhammad Iqbal
 Siang pun mulai perlahan berubah menjadi kuning keemasan, tanda hari mulai gelap. Setelah puas berkeliling melihat perkebunan kopi dan prosesnya, saya dan rombongan mulai berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.

Salah seorang warga yang saya salami sempat berbisik "Ayo mas, menginap disini saja, minum kopi biar melek sampai pagi".

"Mungkin lain waktu, Pak!", Pungkas saya, sambil menuju ke parkiran.

Hari itu, rasanya menyenangkan sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun