Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Predikat Sekolah Terbaik, Masih Relevankah?

31 Desember 2019   18:34 Diperbarui: 1 Januari 2020   11:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita di laman kompas.com hari ini menyorot tentang 15 SMP Swasta Terbaik 2019 Berdasarkan UN. Artikel ini akan memancing pembaca mencari tahu SD, SMA, dan SMK terbaik yang akan menjadi sasaran PPDB 2020 mendatang, baik sekolah yang dikelola pemerintah maupun swasta. Kalau ini terkait dengan sekolah negeri, maka benturan utamanya ada pada Permendikbud No. 44/2019.

Sebagaimana kita semua ketahui, ada 4 jalur PPDB, yaitu zonasi, afirmasi, perpindahan tugas ortu/wali murid, dan prestasi. Mereka yang yang tinggal di daerah yang memiliki sekolah "berkualitas" akan tenang-tenang saja dengan hal ini. 

Calon siswa yang tinggal di luar zona tersebut masih punya peluang melalui jalur afirmasi dan prestasi. Dengan demikian, tidak semua calon siswa bisa diterima di sekolah "berkualitas" tersebut. 

Akan ada berbagai macam seleksi, seperti seleksi jarak sekolah dan prestasinya. Namun, saya tidak akan membahas mengenai jalur-jalur PPDB yang konon bisa membawa siswa ke penjara karena memalsukan dokumen. Mungkin lain kali ya....

Dampak sekolah berkualitas
Sekolah berkualitas memiliki banyak keuntungan, buat sekolah itu sendiri maupun buat pegawai (guru dan staf administrasi), siswa dan orang tua. Saya masih ingat dengan baik, betapa bangganya orang tua ketika saya diterima di salah satu SMA negeri terbaik di kota saya. 

Ketika itu, ada juga rasa bangga dalam diri saya. Banyak yang ingin masuk ke sana, tetapi tidak semuanya bisa diterima. Seingat saya, kala itu belum dikenal istilah zonasi.

https://pixabay.com
https://pixabay.com
Tahukah Anda, bahwa properti di zona sekolah berkualitas akan meroket? Nilai jual dan sewanya bisa melambung gara-gara ada sekolah berkualitas di sana. Banyak orang ingin memiliki properti di sana, minimal tinggal di situ dengan mengontrak sehingga domisilinya berubah. Rumah dengan halaman yang agak luas bisa menyulapnya menjadi lahan parkir. 

Mereka yang punya modal bisa memulai usaha depot kecil-kecilan karena para penjemput kemungkinan besar perlu berteduh sambil makan sesuatu. Intinya ekonomi di sekitar sekolah tersebut akan bergeliat.

Namun, ada sisi lain yang patut dicermati. Daerah di sekitar sekolah tersebut jadi langganan kemacetan tatkala jam masuk dan pulang sekolah. Dampak kemacetan ini bisa menjadi horor tersendiri ketika penghuni rumah perlu pergi dan waktunya mendesak. 

Selain itu, kualitas udara di sekitar sekolah juga menurun. Suhu udara juga bisa naik karena keberadaan kendaraan bermotor yang berkumpul di sana. 

Kriteria sekolah berkualitas
Saya tidak tahu sejak kapan muncul ide tentang sekolah berkualitas, yang mengakibatkan munculnya sekolah tidak berkualitas. Bohong besar jika ada yang mengatakan bahwa munculnya predikat sekolah berkualitas tidak akan mematikan sekolah lain yang "dianggap" tidak berkualitas. 

Setahu saya, sekolah dianggap menyandang predikat ini karena prestasi (baik akademik maupun non-akademik) yang diraihnya, rata-rata SKM, dan prosentase lulusannya yang diterima di perguruan tinggi yang juga "berkualitas". Apakah Anda memiliki tambahan kriteria? Silakan menambahkannya di kolom komentar. 

Sepertinya, kriteria-kriteria di atas masuk akal untuk dijadikan acuan penilaian kualitas sekolah. Benarkah demikian? Sekolah "berkualitas" tidak sembarangan menerima siswa, sehingga bisa dibilang siswanya adalah anak-anak "pilihan". 

Sekolah punya kebebasan memilih karena jumlah pendaftarnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang tersedia. 

Saya belum pernah mendengar sekolah jenis ini kekurangan siswa. Dengan kondisi ini, maka wajar saja jika dalam berbagai macam lomba sekolah ini akan menjadi jawaranya. 

https://pixabay.com
https://pixabay.com
Bagaimana dengan sekolah yang tidak bisa memilih siswa karena kapasitas lebih besar dari jumlah pendaftar? Ya... itu namanya 'nasib'! Apakah nasib ini bisa disamakan dengan takdir? Saya sih, tidak percaya takdir.... 

Sekolah yang seperti ini ibaratnya menerima 100 siswa padahal yang mendaftar cuma 99. Mohon maaf jika hal ini bisa membuat Anda tersinggung. 

Namun, saya ingin menunjukkan bahwa sekolah yang dianggap tidak berkualitas ini sepertinya tinggal menunggu ajal jika pemerintah tidak turun tangan.

Dengan dukungan siswa-siswa pilihan, apakah meraih rata-rata SKM yang tinggi sebuah halangan? Tidak! Sekolah yang seperti ini tinggal melaju saja dan rata-rata SKM akan tetap tinggi tanpa perlu bersusah payah. Selain itu, prosentase lulusannya yang diterima di PT "berkualitas" juga tetap tinggi.

Namun, meraih rata-rata SKM yang tinggi belumlah cukup. Memang manusia tidak pernah puas! Tujuan akhirnya adalah meraih rata-rata SKM tertinggi dan bisa mengalahkan sekolah "berkualitas" yang lain. Di sinilah letak permasalahan utamanya.

Apakah para pembaca mengenal istilah REMIDIASI? Yup! Ini istilah yang sangat dikenal, bukan saja di kalangan siswa, tetapi juga orang tua.

Remidiasi
Di kalangan siswa, istilah ini mengalami penyingkatan menjadi "REMIDI". Remidiasi akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk ujian ulang ketika ujian pertamanya gagal. 

Kalau dicari di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ini tidak ditemukan. Istilah terdekat yang saya temukan adalah REMEDIASI. 

Apakah Anda menemukan perbedaanya? Menurut KBBI, REMEDIASI adalah tindakan atau proses penyembuhan. Saya tidak tahu mengapa KBBI tidak memasukkan kata REMIDIASI padahal istilah ini sudah bertahun-tahun ada dan dipraktekkan di dunia sekolah.

https://pixabay.com/photos/homework-school-problem-number-2521144/
https://pixabay.com/photos/homework-school-problem-number-2521144/
Siapa yang boleh mengikuti proses REMIDI ini? Semua siswa yang gagal dalam ujian sebelumnya. Setahu saya, proses ini dilakukan sampai siswa bisa melewati SKM. Jadi, ini sebuah proses yang melelahkan, panjang, dan (mohon maaf) tidak mendidik!

Menurut hemat saya, pemberian kesempatan untuk ujian ulang ketika ujian sebelumnya gagal tidak menjadi hak semua siswa. Kita bisa bedebat panjang tentang hal ini, tetapi saya punya argumen yang kuat yang melatarbelakanginya.

Ketika REMIDI menjadi hak semua siswa, maka siswa tidak pernah diajar untuk bertanggung jawab dalam ujiannya. Siswa akan merasa punya "ban cadangan" bahkan ketika ujian belum dilaksanakan. 

Dengan demikian, siswa tidak mempersiapkan dirinya dengan baik dan bertanggung jawab. Siswa tidak diajar untuk menghargai hal-hal yang bisa terjadi sekali seumur hidup (baca: once in a lifetime). Bukankah ini hal yang jauh lebih penting dari sekedar nilai SKM?

Bagaimana sekolah memperlakukan siswa yang akan mengikuti REMIDI? Para siswa ini dikumpulkan di kelas dan melakukan latihan soal sebelum REMIDI. 

Sebenarnya, ini sah-sah saja, tetapi ketika soal yang dilatihkan itu punya kemiripan yang sangat tinggi dengan soal yang akan dipakai dalam REMIDI, bukankah ada sesuatu yang aneh? 

Siswa REMIDI hanya tinggal mengulang sesuatu yang baru saja dipelajari tanpa ada pengendapan sebagai bagian dalam proses belajar. Akibatnya, tidak ada hal mereka pelajari sama sekali, karena tujuan kegiatan tersebut hanyalah mencapai batas SKM.

Seharusnya, siswa diminta untuk mempersiapkan diri secara mandiri. Jika ada kesulitan, guru akan berdiri sebagai penopang. Dengan model yang dilakukan selama ini, sepertinya REMIDI adalah tanggung jawab sekolah, bukan siswa.

Lalu, ketika mereka berhasil mencapai SKM yang ditentukan, apakah ada perbedaan dengan nilai siswa yang diraih tanpa REMIDI? Menurut saya, seharusnya ada bedanya! Memberikan nilai yang sama kepada semua siswa tanpa peduli dengan REMIDI menambah daftar panjang kegagalan sekolah mengajarkan tanggung jawab kepada siswanya.

Selain itu, soal ujian pada saat REMIDI dibuat sendiri, sehingga sekolah juga punya peluang untuk "mengatur" kondisi pencapaian SKM. Jujur saja, REMIDI adalah proses yang melelahkan.

Mengapa sekolah memberlakukan REMIDI? Walaupun ada yang mengatakan bahwa itu sudah diatur dalam UU Sisdiknas, sebenarnya sekolah juga diuntungkan! REMIDI bisa mengangkat rata-rata SKM sekolah. Itu berarti predikat sebagai sekolah "berkualitas" makin dekat. 

REMIDI bukan hak siswa, ini pendapat saya! Setiap guru seharusnya tahu kemampuan siswa di kelasnya. Paling tidak itu yang saya alami sendiri. Siswa yang bermalas-malasan di kelas, tentu punya peluang kecil untuk menyelesaikan ujiannya. 

Apakah mereka berhak mendapatkan REMIDI? Seharusnya tidak! REMIDI seharusnya diberikan kepada mereka yang mau belajar tetapi gagal dalam ujiannya.

Masih relevankah predikat sekolah "berkualitas"?
Predikat sekolah "berkualitas" memunculkan label sekolah "tidak berkualitas" dan ini tidak bisa dipungkiri lagi. Oleh karena sekolah "berkualitas" meraih predikat tersebut karena bisa memilih siswa dan proses REMIDI (yang menurut saya salah kaprah), maka istilah ini perlu ditinjau ulang.

Kualitas sekolah seharusnya dilihat dari proses belajar mengajarnya, bukan hasil belajarnya. Selama ini, sekolah telah terjebak pada orientasi hasil sehingga mengabaikan proses pencapaiannya.

Siswa bukan diajar untuk memahami konsep, tetapi diajar untuk bisa menyelesaikan persoalan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu, bejibun rumus harus dihafalkan karena itu jembatan untuk menghitung dengan cepat dan tepat. 

Akibatnya, ketika rumus hanya sekedar dihafalkan, siswa tidak pernah belajar konsep dengan baik. Bahkan, siswa menganggap konsep tidak penting. 

Permasalahannya adalah belum ada instrumen yang tepat untuk menilai proses belajar mengajar di sekolah. Borang akreditasi yang dibuat menjelang proses akreditasi juga sebenarnya hanya angka dan ulasan tanpa bisa menggambarkan situasi yang sebenarnya. 

Akibatnya, sekolah "berkualitas" biasanya akan tetap mendapatkan nilai A saat akreditasi, walaupun kemungkinan besar proses belajar mengajarnya perlu dipertanyakan.

Istilah "berkualitas" dan "tidak berkualitas" sebenarnya menyiratkan adanya perbedaan antar sekolah. Pemerintah belum mampu menyediakan sistem pendidikan yang merata kualitasnya di seluruh Indonesia. 

Masih banyak sekolah, biasanya di luar Jawa, yang kondisinya "darurat perang" dengan guru yang harus bekerja di luar tugas mengajarnya karena tuntutan hidup. Belum lagi ditambah dengan sarana pra-sarana yang tidak seimbang ketika dikotomi Jawa dan luar Jawa dibuka.

Ketika saya mengunjungi sekolah di luar Jawa atau mendengar kisah mahasiswa dari luar Jawa tentang sekolah di sana, hati saya seperti teriris-iris. Betapa tidak?

Situasi terburuk yang saya temui di Jawa masih belum seburuk situasi di luar Jawa, terutama di pelosok. Saya mengerti bahwa pemerintah Indonesia di periode-periode yang sebelumnya terlalu memanjakan Jawa sehingga lupa bahwa Indonesia bukan Jawa saja. Dampaknya memang luar bi(n)asa.

https://pixabay.com
https://pixabay.com
Ketika pemerintah punya semangat untuk menyamakan (atau mengurangi perbedaan) kualitas sekolah di seluruh Indonesia tetapi label-label "berkualitas'", "bermutu", "top", "bagus", "hebat", dll tidak diberantas, mustahil pemerintah dapat mencapai tujuannya. 

Siapa yang berkepentingan dengan label-label tersebut? Ada sekolah, orang tua, guru, komunitas, dll yang punya kepentingan dengan label tersebut. Mereka mendapat keuntungan dengan pemberian label tersebut.

Jika mau disamakan, ini ibarat Petra yang dibubarkan Presiden Jokowi lalu, yang sudah mengeruk keuntungan dari Pertamina tanpa ampun. Keberadaan mereka yang ingin mempertahankan label-label tersebut bisa disamakan dengan posisi Petra terhadap Pertamina. 

Lebih seru lagi, jalur PPDB yang diterapkan seakan melegalkan pelabelan terhadap sekolah. Namun, jika tidak diatur akan timbul kekacauan yang luar biasa di dunia pendidikan di Indonesia. 

Hingga saat ini, saya tidak pernah percaya dengan label sekolah berkualitas selama saya belum melihat sendiri proses di dalamnya. 

Saya banyak berinteraksi dengan mahasiswa di kelas dan berhasil melakukan "investigasi" terkait situasi di sekolah "berkualitas". Bahkan keponakan saya sendiri juga menceritakan pengalamannya di belajar di sekolah "berkualitas". 

Dia bercerita bahwa dalam pelajaran Fisika, misalnya, guru masuk dan membagikan rumus yang akan dipakai dalam menyelesaikan soal latihan. 

Ujung-ujungnya, sang keponakan bertanya kepada saya tentang soal tertentu dan di situlah saya menemukan bahwa mereka tidak belajar konsepnya, tetapi langsung ke penyelesaian soal berdasarkan rumus yang diberikan.

Penutup
Tulisan ini menggambarkan sebagian kecil dari masalah pendidikan di Indonesia. Ada masih banyak hal yang belum diulas dan sepertinya saling terkait satu sama lain. Hal ini membuat pemerintah juga bingung dalam menentukan prioritas. 

Selain itu, ini PR besar yang tidak mungkin diselesaikan oleh Mendikbud satu periode. Mungkin diperlukan lebih dari 5 periode. 

Permasalahannya adalah tidak ada sinergi yang jelas antara Mendikbud periode-periode sebelumnya dengan Mendikbud yang sekarang menjabat.

Lalu, apakah kita sebagai warga negara biasa tidak bisa terlibat? Bisa! Ketika kita masih ikut berkutat dengan isu label sekolah, maka kita sedang berada di seberang pemerintah. Ini adalah salah satu kontribusi yang bisa kita berikan. Mungkin kecil dan tidak berarti, tetapi ketika kita bergandeng tangan dan melakukannya bersama-sama, akan muncul sebuah gerakan yang besar!

Bagaimana pendapat Anda?

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun