Plettaakk
Suara tubuh terjatuh dengan keras dibarengi golok yang terpental ke sudut lantai semen, menimbulkan bunyi riuh yang membuat siapa saja begidik ngeri.
"Hei, kalian jangan diam saja! Bantu saya mengikat Bowo! Cepat ambil tali!" Lantang suara sang ustad berbaju koko putih sambil mengunci kedua tangan sang jawara yang tengah meronta hebat.
"Siapa kau, bajingan? Lepaskaaan aku!"
"Audzubillahiminasyaitonirodziim." Ucap sang ustad hidmat disertai tamparan keras ke wajah Bowo.
"Setaan kau! Lepaskaann aku!" Rontanya makin hebat.
Dibantu oleh tiga laki-laki lain, sang ustad mencoba mengikat kedua tangan dan kaki Bowo namun tak berhasil disebabkan tenaganya yang begitu kuat. Lalu sambil mengucap Basmallah dan memohon perlindungan Sang Khaliq, ustad itu melayangkan lengan atasnya sekuat tenaga ke arah tengkuk Bowo yang membuat seketika tubuh itu tersungkur ke lantai. Tak sadarkan diri.
Melihat itu semua, sang bapak terduduk lemas sambil menangis pilu. Dalam posisi terduduk dengan menunduk dalam dan kedua tangan memegang kedua lutut, tangisnya mengalir deras membuat tubuh ringkih itu bergetar hebat. Kemudian sang istri mendekatinya, mengusap punggungnya sembari ikut menangis di sampingnya.Â
Bukan ketakutan akan dibunuh anak kandung sendiri yang tengah ditangisi oleh si bapak, tetapi tentang pertanggungjawabannya kelak sebagai kepala keluarga. Ia merasa gagal mendidik anak pertamanya. Ia menyesal karena dulu begitu memanjakannya, menuruti segala permintaannya sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang egois serta menakutkan.
"Sabar yo, pak'e." Ucap istrinya lembut di sela-sela tangisan.
"Aku hanya takut di hari pembalasan, bu'e. Allah akan menanyaiku bagaimana aku mendidik Bowo sehingga ia menjadi begitu keras hati."