Semesta, 17 Februari 1980
Tubuh tinggi tegap berhidung mancung dan bermata elang itu tengah menampilkan wajah merah padam penuh amarah dengan golok tajam di tangan kanannya. Siap ia ayunkan kapanpun untuk menyabet tubuh di depannya.Â
Tak sedikit pun terbesit rasa takut di hatinya meski di hadapannya kini berdiri bapak kandungnya sendiri. Lelaki yang telah memberi benih sperma dan membesarkannya dengan kecukupan itu justru membuat setan di dalam hatinya makin keras meneriakkan hawa nafsunya.
"Cepet kasih ke aku surat tanah ini atau kau akan kubunuh!" Teriaknya lantang lebih mirip anjing yang menyalak pada tuannya.
"Bowo, istighfar! Iku bapakmu dewe. Moso mbok koe tujah!" ("Bowo, istighfar! Itu bapak kandungmu sendiri. Masa mau kamu bacok juga!") Sang ibu yang berdiri tak jauh di belakang sang suami sambil mengerang dalam tangis.
"Jangan harap kau dapat surat tanah itu sebelum aku matiii!" Jawab tegas sang bapak dengan suara bergetar, menahan gejolak amarah yang sangat.
Suasana di rumah itu menyebarkan ketegangan ke segala penjuru rumah, menampilkan gurat takut pada wajah yang menyaksikannya dibarengi isakan tertahan beberapa orang. Ketiga adik laki-lakinya hanya mengawasi dari kejauhan, bimbang antara maju atau diam saja di tempat. Sementara ketiga adik perempuannya hanya berani mengintip dari balik hordeng kamar mereka tanpa berani keluar.Â
Beberapa tetangga bahkan sudah berkerumun di pinggir jalan menyaksikan keributan yang sudah sangat sering terjadi di rumah itu. Anak lelaki pertama keluarga ini adalah seorang jawara yang kuat secara fisik namun tak punya hati dan hobinya menghambur-hamburkan uang untuk maksiat seperti judi, minum-minuman keras dan pergi ke manapun ia suka.
"Baik, kalau itu mau kau. Sudah tua juga kau, pantaslah untuk mati sekarang!" Langkah kaki Bowo mulai mendekat sambil tangan kanannya semakin kuat menggenggam gagang golok.
"Bowooo! Kurang ajaaaarr kau!" Teriak ibunya histeris.
Tiba-tiba,