Mohon tunggu...
hesty Gorang
hesty Gorang Mohon Tunggu... Lainnya - Buku gudang ilmu

📝Penulis buku : Pena Pedang Penulis, Muslimah Kanan. 📝Anggota di FLP NTB 🔮Pemilik blog : Lancarberbahasa.com Penulis buku : Muslimah kanan, Jangan Menulis Nanti Keliling Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nenek Ratih dan Daun Kelapa Kering

8 September 2024   08:00 Diperbarui: 8 September 2024   08:05 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa tuanya nenek Ratih, tidak membuat dia semakin manja karena fisik yang sudah lemah dan tinggal seorang diri. Dia justru menjadi sosok tua yang kuat. Jika ditanya apa rahasianya dia akan jawab singkat. 

"Karena ini." 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Malam sudah larut. Nenek Ratih telah mematikan lampu kamar dan menyalakan kembali lampu copok yang dipakai sebagai penerang dalam tidurnya. Dia mengaku tak bisa gelap saat tidur. Namun dia pun tak bisa menggunakan lampu listrik sebagai penerang dalam tidurnya. Maka, lampu copok yang dibuat sederhana itu menjadi teman tidur diusianya sudah semakin tua.

Masa tuanya Nenek Ratih tidak membuat dia semakin manja karena fisik yang sudah lemah dan tinggal seorang diri. Dia justru menjadi sosok tua yang kuat. Jika ditanya apa rahasianya dia akan jawab singkat.

"Karena ini." 

Sambil menunjukkan sirih pinang yang ditaruh dalam keranjang anyaman dari lontar yang selalu berada di sampingnya. Hatta saat tidur pun keranjang lontar itu dibawah. Katanya kalau bangun tidur tanpa sirih pinang ia tak bisa hidup.

Hari ini genap tiga bulan setelah panen kelapa Madam Nanik. Dipanggil Madam karena dia lah orang paling banyak memiliki kebun. Dari kebun kopi, cokelat, kelapa, hingga tanaman penyambung hidup dan pengisi perut saat lapar. Ada pisang, ubi, dan berbagai biji-bijian dan sayuran ditanam beliau. Entah ada berapa hektar lahan yang beliau miliki. Tapi, sayang Madam dikenal seorang yang pelit, meskipun memiliki kebun yang berhektar-hektar.

Pagi itu Wak Muhrim dan wak Munir sudah siap dengan golok di pinggangnya. Dengan telanjang dada, dua orang yang biasa disebut penaek itu sudah siap untuk bekerja.

Penaek adalah sebutan bagi orang yang sudah ahli memanjat kelapa. Jasa mereka biasa dipakai saat musim panen kelapa tiba.

Bayarannya pun didapatkan dari banyak buah kelapa yang dijatuhkan. Dengan bonus beberapa kelapa kering dan kelapa muda untuk keluarga di rumah.

Satu persatu pohon kelapa mereka panjat. Tak takut akan ketinggian. Keahlian dua saudara dalam mengambil kelapa sudah dikenal warga sekitar.

Nek Ratih pun sudah siap dengan alatnya. Dipegangnya parang dan diikatnya pinggang dengan sabuk yang dibuat dari batik panjang yang biasa mereka sebut lempot. Yah, kata warga sekitar biar tidak sakit pinggang.

Wak Muhrim menurunkan satu demi satu kelapa yang bisa dipanen. Antusias warga sekitar tak kalah heboh kalau masa panen kelapa tiba. Yah, meski di bilang pelit. Jatah warga tetaplah ada. Meski hanya satu buah kelapa muda segar atau kelapa tua yang biasa digunakan untuk membuat urap atau makanan berbahan santan lainnya.

Panen kelapa bukan saja sekadar kegiatan memanen. Namun, ada kebersamaan dan kerukunan yang selalu dirasakan warga TimbunTimbun.

Makan bersama saat panen, menikmati air kelapa segar, hingga berbagai cerita dan guyonan lucu. Tapi, lain dengan bu Ratih. Janda lapuk itu sibuk memilih daun kelapa kering. Tak satu pun daun kelapa yang dijatuhkan dari atas kelapa dibiarkan menganggur begitu saja. Apalagi sampai dibakar jadi abu dan debu. Rasanya akan sia-sia.

Di ramainya candaan warga sambil mengambil buah kelapa yang dijatuhkan. Bu Ratih tetap fokus memilih daun kelapa.

Dirautnya satu persatu. Dibersihkan dari daun keringnya. Hingga tersisa lidi yang siap dijadikan sapu. Sapu lidi yang sudah dibersihkan akan dijual ke pengempul. Setiap satu ikat dijualnya Rp. 5.000

"Nek Ratih, sini dulu ngumpul. Nanti milih lagi daunnya. Biarkan Wak Muhrim. Habisin dulu kelapa di atas."

Nasehat seorang warga pada bu Ratih yang tetap fokus menunggu di bawah pohon kelapa.

Dia memang orang yang rajin, kuat bekerja. Namun, sebagai orang tua, sifatnya kadang membuat sebal. Tidak mau mendengar nasihat orang lain. Apalagi pendapat. Dia akan menutup telinga atau pura-pura tidak mendengar.

Beberapa warga sudah mengingatkan untuk pindah dari bawah pohon yang sedang dipanen. Tapi, karena keras kepala. Nek Ratih tetap berdiri dan menunggu daun kelapa kering dijatuhkan.

"Nek Ratih Awaaaasss." Seorang anak remaja berlari kencang ke arah nenek Ratih dan mendorongnya sekuat tenaga. Ternyata ada kelapa yang jatuh dari atas pohon tepat diatas kepala nek Ratih. Namun, sayang kecepatan lari sang anak tidak secepat jatuhnya kelapa dari pohonnya.

Nenek Ratih pun terjatuh. Kepalanya tertimpa buah kelapa yang ukurannya sedang. Orang tua itu tidak tertolong lagi. Hari itu pun menjadi kenangan pahit desa TimbunTimbun. Di kenanglah nenek Ratih sebagai pemilik daun kelapa kering.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun