Satu persatu pohon kelapa mereka panjat. Tak takut akan ketinggian. Keahlian dua saudara dalam mengambil kelapa sudah dikenal warga sekitar.
Nek Ratih pun sudah siap dengan alatnya. Dipegangnya parang dan diikatnya pinggang dengan sabuk yang dibuat dari batik panjang yang biasa mereka sebut lempot. Yah, kata warga sekitar biar tidak sakit pinggang.
Wak Muhrim menurunkan satu demi satu kelapa yang bisa dipanen. Antusias warga sekitar tak kalah heboh kalau masa panen kelapa tiba. Yah, meski di bilang pelit. Jatah warga tetaplah ada. Meski hanya satu buah kelapa muda segar atau kelapa tua yang biasa digunakan untuk membuat urap atau makanan berbahan santan lainnya.
Panen kelapa bukan saja sekadar kegiatan memanen. Namun, ada kebersamaan dan kerukunan yang selalu dirasakan warga TimbunTimbun.
Makan bersama saat panen, menikmati air kelapa segar, hingga berbagai cerita dan guyonan lucu. Tapi, lain dengan bu Ratih. Janda lapuk itu sibuk memilih daun kelapa kering. Tak satu pun daun kelapa yang dijatuhkan dari atas kelapa dibiarkan menganggur begitu saja. Apalagi sampai dibakar jadi abu dan debu. Rasanya akan sia-sia.
Di ramainya candaan warga sambil mengambil buah kelapa yang dijatuhkan. Bu Ratih tetap fokus memilih daun kelapa.
Dirautnya satu persatu. Dibersihkan dari daun keringnya. Hingga tersisa lidi yang siap dijadikan sapu. Sapu lidi yang sudah dibersihkan akan dijual ke pengempul. Setiap satu ikat dijualnya Rp. 5.000
"Nek Ratih, sini dulu ngumpul. Nanti milih lagi daunnya. Biarkan Wak Muhrim. Habisin dulu kelapa di atas."
Nasehat seorang warga pada bu Ratih yang tetap fokus menunggu di bawah pohon kelapa.
Dia memang orang yang rajin, kuat bekerja. Namun, sebagai orang tua, sifatnya kadang membuat sebal. Tidak mau mendengar nasihat orang lain. Apalagi pendapat. Dia akan menutup telinga atau pura-pura tidak mendengar.
Beberapa warga sudah mengingatkan untuk pindah dari bawah pohon yang sedang dipanen. Tapi, karena keras kepala. Nek Ratih tetap berdiri dan menunggu daun kelapa kering dijatuhkan.