Mohon tunggu...
Hery Wibowo
Hery Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Kolumnis dan Praktisi Pendidikan

Berjuang untuk memajukan Pendidikan Karakter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ruang Kreasi bagi Pendidikan Karakter

9 Maret 2023   04:39 Diperbarui: 9 Maret 2023   04:43 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari-hari belakangan ini, Indonesia kembali dikejutkan ndengan ulah sejumlah peserta didik yang melakukan perbuatan tidak terpuji, mulai dari bermotor sambil bawa celurit, pamer kekayaan orang tua, melakukan penganiayaan kepada remaja lain, membunuh pasangan karena cemburu dan lain sebagainya. Ragam peristiwa ini jelas menorehkan luka, dan pekerjaan rumah bagi perbaikan pelaksanaan proses belajar mengajar, khususnya pendidikan karakter.

Isu pendidikan adalah ibarat sumur yang tidak pernah kering untuk digali. Setiap digali lebih dalam, ada harapan dan potensi sumber air untuk maslahat yang lebih besar. Oleh karena itu, sejatinya setiap opini dan diskusi tentang pendidikan, adalah aset dan modal dasar bagi penyempurnaan layanan pendidikan bangsa.

Subjek utama pendidikan adalah manusia. Maka, upaya memahami manusia secara utuh, filosofis, dan juga mengenal faktor lingkungan yang melingkupinya, adalah stasiun awal yang baik untuk memulai penjelajahan untuk menemukan metode transformasi pendidikan yang lebih baik.

Manusia Mahkluk Fitrah

Manusia adalah mahluk yang selain memiliki fisik, pancaindra dan akal pikiran, juga memiliki fitrah, hati nurani dan spiritualitas. Keadaan fisik, pancaindra dan akal, pada hakikatnya merupakan kendaraan yang mengikuti keinginan hati nurani dan spiritual (Nata, 2018). Sehingga sejatinya proses pendidikan tinggal mengikuti 'fitrah' tersebut, dan dijaga agar tidak ternodai dengan hal-hal yang berpotensi merusaknya. Sejatinya, aktivitas belajar merupakan perilaku yang mulia. 

Belajar, bahkan bisa dikatakan sebagai fitrah manusia. Manusia secara naruliah, dari bayi 'belajar' untuk hidup, bertahan hidup dan kemudian tumbuh dan berkembang. Semakin bertambah usianya, manusia mulai memasuki sistem sosial, yang kemudian mencoba 'mengajarinya' dan mengajaknya 'belajar' sesuai dengan norma, nilai dan aturan dan sistem ekologi sosial dimana ia berada.

Maka, ketika proses pendidikan berjalan dengan baik, seharusnya 'tinggal' mengikuti fitrah tersebut. Proses pendidikan perlu cerdas membaca sinyal fitrah tersebut, sehingga mampu menyediakan kurikulum dan infrastruktur untuk menghasilkan pola pendidikan terbaik bagi pengembangan potensi terbaik peserta didik, baik dari dimensi kognitif (wawasan pengetahuan), afektif (nilai, norma, etika) dan psikomotorik (perilaku kecakapan dan kapabilitias kerja). 

Jelas ini merupakan pekerjaan rumah yang 'tiada akhir' bagi siapapun yang sedang memegang amanah membangun layanan pendidikan bangsa secara khusus, dan seluruh anggota masyarakat secara umum.

Membangun Karakter

Weber (Maunah, 2016), salah seorang tokoh sosiologi, menegaskan bahwa seyogianya keilmuan sosiologi berusaha untuk menjelaskan dan menerangkan kelakuan/perilaku manusia dengan menyelami dan memahami seluruh sistem, arti, maksud subyektif yang mendahului, menyertai dan menyusulnya. Maknanya, negara perlu hadir menyelami fitrah individu, untuk mengetahui potensi generasi yang akan melalui serangkaian sistem pendidikan versi negara. 

Negara perlu lebih intensif lagi hadir untuk membangun karakter demi karakter individu warga negara. Proses kolaboratif dengan warga negara aktif (active citizen) dapat diprioritaskan untuk membagi amanah besar ini. Para tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat dapat dilibatkan dalam sinergi kolaboratif ini.

Upaya pembangunan karakter, jelas bukan perkara mudah. Namun bukan harus dijauhi dan dielakkan. Tantangan 'sulitnya' membangun karakter peserta didik, harus diterjuni, ditempuh dan didalami, alih-alih dijauhi karena tingkat kesulitannya. Ragam kebijakan yang telah mengarah kesini, perlu didukung dan diapresiasi, termasuk dihadirkannya profil pelajar pancasila.

Negara Sebagai Panutan

Kacamata Sosiologi pendidikan (Anwar & Adang, 2013) memandang bahwa pendidikan adalah upaya sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak (peserta didik) agar mempunyai sifat dan tabiat yang sesuai dengan cita-cita pendidikan. 

Pendidikan atau tarbiyah (Asifuddin, 2012) adalah proses menciptakan perubahan positif yang bertahap dan terus menerus, baik dalam hal ilmu maupun amal perbuatan, dalam semua aspek kehidupan manusia, sehingga manfaatnya dapat dipetik oleh yang bersangkutan maupun orang lain, baik di dunia maupun di akhirat.

E. George Payne (dalam Faisal dan Yasik, 1985 dalam (Anwar & Adang, 2013)) menegaskan bahwa dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial dan proses sosial terhadap hubungan yang saling terjalin, dimana dalam interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorganisasikan pengalamannya. 

Sehingga jelas bahwa bagaimana negara ini diarahkan dan dibangun, akan mempengaruhi proses 'pendidikan dan pembelajaran' warga negaranya. Karena proses belajar warga negara terjadi dalam sistem interaksi sosial, antar warga, antar kelompok sosial dan juga lembaga institusional.

Merdeka Belajar

Kebijakan Merdeka Belajar, yang telah digelontorkan pemerintah 3-4 tahun terakhir ini, jelas merupakan kesempatan bagi setiap lembaga pendidikan untuk "lebih bebas berkreasi' dalam menghasilkan kinerja proses pembelajaran terbaik. Kebijakan ini, memberikan ruang inovasi untuk menghasilkan struktur, sistem dan alur akademik versi sekolah/perguruan tinggi masing-masing, yang diharapkan mampu menghasilkan luaran pembelajaran terbaik.

Merdeka belajar sejatinya adalah pembebasan. Kekebasan yang dimaksud, -menyitir pada Pidato Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada Hari Guru Nasional (Sudarma, 2021) adalah kebebasan untuk berinovasi dan kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Agenda ini merupakan pekerjaan rumah bagi Kemendikbud dan juga unit kerja dibawahnya untuk memberikan ruang inovasi kepada guru/dosen/pengajar lainnya dan peserta didiknya.

Pihak sekolah/perguruan tinggi dapat melakukan observasi aktif, terhadap isu krusial (khususnya bidang karakter) yang perlu diprioritaskan. Jelas setiap institusi pendidikan akan memiliki prioritas isu yang berbeda. Sehingga upaya membangun karakter peserta didik terbaik, berbasis kearfilan lokal, kondisi budaya, tradisi dan kebiasaan dapat terbangun.

Kebijakan Merdeka Belajar, merupakan salah satu titik berangkat yang tepat untuk menyempurnakan proses pendidikan di Indonesia yang memang terus beranjak ke arah yang lebih baik. 

Premis ini diperkuat oleh tesis (Nata, 2018) bahwa proses pendidikan bukan hanya terjadi melalui interaksi antara guru dengan murid, dosen dengan mahasiswa, melainkan juga interaksi antara semua pihak yang terlibat langsung. Agar proses interaksi tersebut berjalan efektif, bermakna dan produktif, maka masing-masing pihak harus berada dalam kondisi psikologi yang nyaman, aman dan menyenangkan. 

Sejatinya, filosofi Merdeka Belajar sudah mengarah pada upaya penciptaan suasana belajar yang bermakna dan bertujuan mulia (meaningful learning). Landas pacu sudah tersedia, tinggal pilot menerbangkan pesawatnya menuju tujuan yang dicitakan.

Maka, benarlah kredo pendidikan yang sudah bertahan bertahun-tahun melintasi zaman, yaitu Education is Power, the Character is More.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun