Jika diterima menjadi santri maka diwajibkan untuk tinggal kompleks pondok. Selama di pondok para santri tidak dipungut biaya apapun, bahkan jika "berprestasi" para santri tersebut justru dapat "penghargaan". Yang itu bisa berupa materi ataupun fasilitas di pondok. Proses penilaiannya pun merupakan "hak prerogatif" dari pengelola pondok yang mempunyai ukuran dan prosedur sendiri.
Dan yang unik lagi di antara santri tersebut ada yang berstatus suami-istri. Baik yang sedari awal (sebelum masuk pondok) ataupun dinikahkan oleh pengelola pondok. Saat ini kurang lebih ada sekitar 58 kepala keluarga (KK), ada beberapa yang sudah mempunyai anak. Dan di pondok ini juga mengelola madrasah umum yang muridnya dari lingkungan pondok serta masyarakat sekitar.
Dengan bangunan yang besar serta jumlah santri yang banyak tentulah ada biaya operasional yang jumlahnya tentu tidak sedikit. Menurut penuturan Suhari untuk biaya tersebut didapatkan dari dana internal keluarga pengelola sendiri, dana infak yang tidak mengikat, serta swadaya dari jamaah (majelis taklim). Di lingkungan pondok juga ada aktivitas ekonomi dengan keberadaan kios makanan, pakaian serta souvenir yang dikelola para santri dengan menggunakan konsep bagi hasil. Untuk aktivitas ekonomi pondok ini akan diulas pada ulasan tersendiri pada bagian kedua.
Ponpes ini boleh dibilang sangat mandiri dengan mengandalkan upaya dan dana sendiri. Menurut pengakuan Suhari, ponpes tidak pernah mengajukan ataupun menerima bantuan dana dari pemerintah. Banyak juga tawaran dari para tokoh terutama dari kalangan parpol yang siap membantu. Namum dengan halus pihak pondok menolaknya. Pada intinya pondok ini menerima dana yang sifatnya tidak mengikat dengan kepentingan tertentu.
Dengan kunjungan yang begitu banyak, maka pondok pun menyediakan tempar parkir yang luas untuk roda empat dan dua. Namun pondok tidak menarik dana apapun dari para pengunjung. Padahal dengan hitungan kasar pun jika dikomersilkan akan menjadi pemasukan yang besar. Memang di beberapa disediakan kotak amal yang diperuntukkan bagi kebersihan, listrik, ataupun infak. Namun itu semua sifatnya suka rela, terserah pada keikhlasan dari pengunjung.
Pondok ini disalahkaprahkan dengan sebutan "Masjid Tiban" yang artinya bahwa bangunan dapat berdiri dengan tiba-tiba. Apakah ada kekuatan gaib sehingga dapat membangun tanpa aktivitas? Sempat saya singgung hal tersebut kepada Suhari. Ia pun hanya tersenyum dan dengan sabar menjelaskan.
Sebenarnya tidaklah benar bila membangun pondok ini dengan kekuatan jin, semua dilakukan oleh manusia dalam hal ini oleh para santri. Hanya saja semua dilakukan dengan senyap. Dalam konteks Indonesia dapat kita lihat kebiasaan dalam membangun, begitu bising dan meninggalkan bekas.
Sangat jauh berbeda dengan yang ada di luar negeri, di Malaysia ataupun Singapura misalnya. Dalam membangun mereka begitu profesional, dan tidak meninggalkan bekas dalam setiap hari pengerjaannya. Misalnya peralatan yang dibiarkan begitu saja, ataupun bahan-bahan bangunan yang berserakan.