Sengaja memberi tanda kutip pada judul (Masjid Tiban) dikarenakan merupakan istilah yang salah kaprah di sebagian masyarakat. Padahal bila ditelusuri mendalam tidaklah seperti itu kenyataannya. Masjid Tiban hanyalah istilah tidak resmi untuk menunjukkan pada suatu tempat yang unik yang sering dijadikan wisata religi, yang berlokasi di Jl K.H. Wahid Hasyim Gg Anggur Sananrejo Turen kab. Malang.
Setelah menelusuri lebih dalam, yang dimaksud dengan Masjid Tiban itu bukanlah masjid melainkan bangunan pondok pesantren. Lagi-lagi di sini ada keunikan.
Bangunan yang besar itu ornamennya dibuat menarik dengan warna mencolok. Di dalamnya pun demikian, pengunjung pun akan dibuat takjub. Akan ditemui kursi dari akar jati, terdapat kolam renang mini, toko souvenir, serta warung makan. Ada Sembilan lantai di inti bangunan pondok ini yang leluasa bisa dikunjungi.
Pengunjung memang banyak berdatangan di tempat ini, terutama dari luar kota dengan rombongan kendaraan pribadi dan umum. Bis ukuran sedang pun kerap terlihat di parkiran luar yang dikelola warga setempat.
Namun jika ditelusuri mendalam, ternyata "Masjid Tiban" ini bukanlah merupakan tempat wisata. Hal ini yang bisa saya tangkap ketika berbincang santai dengan salah satu santrinya, Suhari yang berasal dari Tulungagung.
Tempat ini merupakan Pondok Pesanten (Ponpes) yang namanya teramat panjang: Salafiyah Bihaaru Bahri'asali Fadlaailir Rahmah. Jika diteliti dengan seksama, di bangunan yang besar itu tak akan dijumpai ruangan atau bilik yang mirip di pondok konvensional ataupun semacam kampus dan sekolah. Tidak ada tanda-tanda ada pengajaran di sana. Para satri pun tidak kelihatan belajar dan mengaji. Sesuatu yang jauh dari presepsi sebuah pondok pesantren. Yang ramai justru dari para pengunjung dengan aktivitas "kesibukannya".
Suhari yang sudah menjadi santri selama setahun ini menjelaskan bahwa sebenarnya pondok ini bukan merupakan tempat wisata dengan embel religi sekalipun. Bangunan yang megah itu sebenarnya diperuntukkan untuk kepentingan para santri. Namun pengelola pondok tidak dapat melarang bila ada masyarakat yang mengunjungi pondok ini.
Maka pengunjung yang berkunjung itu bukan wisatawan melainkan tamu pondok. Namanya tamu harus disambut dengan baik. Maka para pengunjung tersebut diharapkan untuk melapor ketika datang sebagai tanda permisi untuk masuk kawasan pondok. Dan melapor ketika akan pulang sebagai tanda untuk berpamitan. Untuk tempat melapor bisa di pos depan ataupun pos bagian dalam yang juga sebagai pos informasi. Pelaporan bisa dilakukan sendiri ataupun secara kolektif yang diwakili ketua rombongan.
Sebagai pengunjung --termasuk saya- tentu akan heran dengan bangunan yang tak ada ruangan kelas dan tak ada tanda-tanda aktivitas pengajaran.
Penjelasan Suhari cukup membantu untuk mengetahui kondisi sebenarnya. Ia menyatakan bahwa di ponpes ini pengajaran dan pembelajarannya lebih mengutamakan akhlak. Yang kurang lebih artinya melaksanakan tuntunan agama dengan baik dalam perilaku sehari-hari. Bila dalam tuntunan agama kita diperintahkan jujur, berbuat baik, menyanyagi sesama maka semua dilaksanakan bukan sekadar pengetahuan ataupun hafalan.
Namun demikian dalam pelajaran syariat tetap tidak ditinggalkan. Beberapa kitab pun dipelajari sesuai dengan porsi kemampuan masing-masing santri. Penekanannya lebih lembut. Misalnya kita diperintahkan sholat. Maka dimulai dengan kesadaran bukan paksaan. Demikian pula dengan amalan syariat yang lain.
Sebagai gambaran Suhari mencontohkan keberadaan seekor anjing, yang dalam syariat agama air liurnya dinyatakan najis. Menyikapinya adalah bukan menjauhi anjing itu atau berbuat kasar. Jika terkena air liur, solusinya dengan dibasuh air dan pasir. Jika ada anjing yang kelaparan perlu juga diberi makan, karena posisinya juga makhluk Tuhan. Mungkin seperti itu dalam menyikapi antara syariat dan akhlak.
Pondok ini lebih menekankan urusan hati, maka ketenangan jiwa lah yang dicari. Ditekankan pula untuk bersikap dan berpikir positif. Maka dengan demikian diharapkan tidak mudah untuk menyalahkan orang lain.
Misalkan saja ada orang lain yang berbuat tidak menyenakkan kepada kita, maka tidak terburu-buru untuk menyalahkan. Sikap intropeksi diri yang diharapkan, jangan-jangan justru sikap kita yang tidak baik sehingga yang berujung pada tingkah laku yang tak mengenakkan itu.
Selain pelajaran akhlak dan agama, pelajaran yang bersifat umum juga diajarkan. Seperti pelajaran keterampilan, keuangan, serta bangunan.
Menariknya semua pelajaran itu langsung dipraktikkan. Santri diberi pembelajaran dasar dan apa yang harus dikerjakan. Yang kemudian santri langsung dapat mempraktikkannya, yang dari situlah akan mendapatkan pengalaman kongkrit, trial and error tentu tidak akan lepas dari metode ini.
Namanya ponpes tentu ada santri. Menurut Suhari jumlah santri baik lelaki ataupun perempuan berkisar 380 orang. Dan semua santri menetap di kompleks pondok, dan tetap melakukan aktivitas keseharian.
Di pondok ini ada aktivitas pembangunan, berjualan, menjaga pos informasi serta parkir dan beberapa aktivitas lainnya. Dan semua itu yang mengelola dan menjaga oleh para santri yang bertugas menurut keahlian masing-masing. Dan pada hari tertentu ada kajian khusus yang disampaikan pengelola ponpes.
Untuk menjadi santri di ponpes ini cukup mudah, hanya kemauan yang kuat untuk belajar dan berubah. Menurut penuturan Suhari, menjadi santri di ponpes ini tidaklah langsung diterima. Para calon santri sebelumnya diberikan waktu untuk beradaptasi terlebih dahulu dengan kurun waktu tertentu. Dan jika memang sudah merasa mantap bisa mengajukan diri ke pengelola untuk jadi santri.
Syarat untuk menjadi santri adalah di atas 17 tahun dan juga melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari daerah asal. Dan untuk tinggal di pondok tidak ada jangka waktunya, semua tergantung santri akan tinggal di sini terus ataukan suatu saat akan kembali ke lingkungan masyarakat.
Jika diterima menjadi santri maka diwajibkan untuk tinggal kompleks pondok. Selama di pondok para santri tidak dipungut biaya apapun, bahkan jika "berprestasi" para santri tersebut justru dapat "penghargaan". Yang itu bisa berupa materi ataupun fasilitas di pondok. Proses penilaiannya pun merupakan "hak prerogatif" dari pengelola pondok yang mempunyai ukuran dan prosedur sendiri.
Dan yang unik lagi di antara santri tersebut ada yang berstatus suami-istri. Baik yang sedari awal (sebelum masuk pondok) ataupun dinikahkan oleh pengelola pondok. Saat ini kurang lebih ada sekitar 58 kepala keluarga (KK), ada beberapa yang sudah mempunyai anak. Dan di pondok ini juga mengelola madrasah umum yang muridnya dari lingkungan pondok serta masyarakat sekitar.
Dengan bangunan yang besar serta jumlah santri yang banyak tentulah ada biaya operasional yang jumlahnya tentu tidak sedikit. Menurut penuturan Suhari untuk biaya tersebut didapatkan dari dana internal keluarga pengelola sendiri, dana infak yang tidak mengikat, serta swadaya dari jamaah (majelis taklim). Di lingkungan pondok juga ada aktivitas ekonomi dengan keberadaan kios makanan, pakaian serta souvenir yang dikelola para santri dengan menggunakan konsep bagi hasil. Untuk aktivitas ekonomi pondok ini akan diulas pada ulasan tersendiri pada bagian kedua.
Ponpes ini boleh dibilang sangat mandiri dengan mengandalkan upaya dan dana sendiri. Menurut pengakuan Suhari, ponpes tidak pernah mengajukan ataupun menerima bantuan dana dari pemerintah. Banyak juga tawaran dari para tokoh terutama dari kalangan parpol yang siap membantu. Namum dengan halus pihak pondok menolaknya. Pada intinya pondok ini menerima dana yang sifatnya tidak mengikat dengan kepentingan tertentu.
Dengan kunjungan yang begitu banyak, maka pondok pun menyediakan tempar parkir yang luas untuk roda empat dan dua. Namun pondok tidak menarik dana apapun dari para pengunjung. Padahal dengan hitungan kasar pun jika dikomersilkan akan menjadi pemasukan yang besar. Memang di beberapa disediakan kotak amal yang diperuntukkan bagi kebersihan, listrik, ataupun infak. Namun itu semua sifatnya suka rela, terserah pada keikhlasan dari pengunjung.
Pondok ini disalahkaprahkan dengan sebutan "Masjid Tiban" yang artinya bahwa bangunan dapat berdiri dengan tiba-tiba. Apakah ada kekuatan gaib sehingga dapat membangun tanpa aktivitas? Sempat saya singgung hal tersebut kepada Suhari. Ia pun hanya tersenyum dan dengan sabar menjelaskan.
Sebenarnya tidaklah benar bila membangun pondok ini dengan kekuatan jin, semua dilakukan oleh manusia dalam hal ini oleh para santri. Hanya saja semua dilakukan dengan senyap. Dalam konteks Indonesia dapat kita lihat kebiasaan dalam membangun, begitu bising dan meninggalkan bekas.
Sangat jauh berbeda dengan yang ada di luar negeri, di Malaysia ataupun Singapura misalnya. Dalam membangun mereka begitu profesional, dan tidak meninggalkan bekas dalam setiap hari pengerjaannya. Misalnya peralatan yang dibiarkan begitu saja, ataupun bahan-bahan bangunan yang berserakan.
Membicarakan pondok ini tentu tidak akan ada habisnya. Tulisan ini hanya menyuguhkan yang sekelumit itu dari banyak hal yang masih belum diketahui. Banyak dimensi yang bisa dipelajari baik dari segi fisik yang menampilkan keindahan dan seni bercita rasa tinggi. Terlebih lagi yang sifatnya jiwa yang lebih mengungkapkan rasa. Yang patut menjadi perhatian adalah penekanan kepada konsep akhlak tersebut, yang sesuai dengan tujuan Nabi SAW yang diutus ke muka bumi ini yaitu mengajarkan dan menerapkan akhlak yang mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H