Suatu pagi ku termenung, memang biasa aku merenung namun pagi itu agak panjang durasi dan jangkauannya. Kita tahu, di zaman yang dipenuhi oleh kemudahan ini kita dapat menemukan berbagai macam Beasiswa. Begitu banyak kesempatan bagi anak bangsa untuk mengenyam pendidikan tinggi tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun.Â
Tak hanya S1, tetapi juga S2 bahkan hingga ke jenjang Doktral. Pihak yang menjadi sponsor beasiswa dapat berasal dari pemerintah ataupun swasta . Mulai dari Bidik Misi, PPA, Tanoto Foundation, Sampoerna, Kader Surau, KSE, Djarum dan masih banyak lagi.
Tidak hanya dari dalam negeri, pemerintah dan swasta luar negeri juga ikut meramaikan khazanah beasiswa di negeri ini. Deretan beasiswa ternama seperti Chevening, Erasmus Mundus, Fullbright, Mext dan lain-lain telah lama mengambil perannya sebagai sponsor beasiswa.Â
Ku pikir itu adalah berkah, bisa berkuliah di dalam bahkan di luar negeri tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mereka-mereka yang berhak mendapatkannya.
Kadang aku berpikir, buat apa para sponsor ini mengeluarkan banyak uang yang tidak sedikit demi menyediakan dana beasiswa. Â Uang milyaran rupiah yang mereka keluarkan, buat apa? apakah ada benefitnya bagi mereka? Bukankah jika dipikirkan secara sederhana mereka malah merugi?Â
Aku berandai, bukankah uang sebanyak itu lebih baik digunakan untuk membangun sekolah yang bagus seperti yang sudah dilakukan Chairul Tanjung dengan CTF-nya? kenapa tidak menambah guru saja untuk daerah-daerah pelosok? kenapa tidak membangun ruang baca gratis di daerah terluar yang bahkan tidak tersentuh listrik? Kenapa mereka malah memberikan dana sebanyak itu untuk para mahasiswa?
Panjang renungan ini, berputar-putar dan kembali di tempat. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, tapi semakin banyak pertanyaan malah makin buntu hasilnya. Lalu aku teringat sebuah sejarah, setengah abad silam, Malaysia yang baru saja merdeka jauh tertinggal dari Indonesia dalam bidang pendidikan.Â
Malaysia bahkan mengirim para pemuda terbaiknya ke Indonesia untuk belajar. Namun setelah era itu, keadan berbalik. Pendidikan malaysia melesat. Peringkat universitas-universitas negeri jiran tersebut jauh berada di atas perguruan tinggi kita. Kini, banyak pula pemuda Indonesia berbondong-bondong untuk belajar di sana.Â
Begitu juga dengan Jepang, negeri ini pernah luluh lantak akibat tragedi pengeboman nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. Tapi mereka tidak tinggal diam, mereka masih punya pemuda-pemuda yang siap dikirim ke negara manapun untuk belajar.Â
Selang beberapa dekade, seperti yang sama-sama kita ketahui bahwa negara yang dulunya rusak berat, tidak punya lahan, tidak subur dll telah bermetamorfosis menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia. Kebudayaannya sangat mempersona sampai-sampai membuat pemuda dalam negeri tertarik akannya.
Segilintir sejarah itu, setelah ku cermati. Ternyata itulah yang mereka cari, itulah yang diharapkan para sponsor ini. Sebuah kemajuan bagi Indonesia, kebangkitan yang nyata. Uang yang mereka keluarkan tidaklah seberapa dibandingkan dengan hadirnya sebuah negeri yang makmur, tentram dan damai.Â
Aku bisa katakan, apa yang mereka berikan adalah sebuah titipan yang harus dikembalikan di kemudian hari. Apakah dengan uang? tidak, sungguh kerdil jika menilai segala sesuatu dengan uang. Mereka berharap lebih, mereka yakin apa yang mereka beri akan menjadi pondasi kokoh untuk indonesia yang lebih baik.Â
Nah, setelah kudapatkan jawaban atas pertanyaan tesebut. Ku mulai dihantui oleh pertanyaan lainnya. Apakah mereka para penerima beasiswa tersebut sudah membayar titipan tersebut? sudahkan utang itu terbayar? apakah Indonesia sudah menjadi lebih baik?
Teman-teman, mungkin hanya pemahaman ku yang terlalu sempit dan lemah tapi aku memandang bahwa kebanyakan mereka para penerima beasiswa telah melupakan utang mereka. Sebut saja Beasiswa Bidik Misi, negara bertanggung jawab penuh atas pembiayan pesertanya selama menempuh masa kuliah.Â
Mulai dari SPP, uang saku, hingga asrama. Tetapi kebanyakan mereka, tentu berdasarkan pandangan lemah ku, menghabiskan masa kuliahnya tanpa sedikitpun berkontribusi untuk negeri, mereka sering acuh tak acuh dengan keadaan negeri, menghamburkan uang saku untuk menikmati masa-masa mudanya.
Bahkan banyak juga dari mereka yang pada dasarnya orang berada tetapi mendapatkan beasiswa tersebut, mereka mampu dan bahkan berlebihan tetapi dengan mudahnya menerima beasiswa tersebut. Lantas, bagaimana yang lain? yang lebih pantas mendapatkannya?
Tidak hanya Bidik Misi, jujur aku adalah salah satu penerima Beasiswa yang lumayan bermanfaat bernama Kader Surau. Aku tidak perlu lagi membayar SPP yang tergolong tinggi bagi keluargaku, aku mendapatkan uang saku yang berlebihan setiap bulannya, aku juga mendapatkan asrama yang nyaman beserta berbagai macam pembinaan yang sangat bermanfaat. Namun, kembali kutemukan.Â
Mereka yang tidur di bawah atap yang sama denganku ternyata adalah orang-orang yang ku sebut LINTAH. Mungkin ini adalah murni perasaan pribadiku, tetapi aku tidak bisa menyangkal bahwa mereka lebih mengutamakan hak daripada kewajiban. Dasar Lintah pikirku, menyedot tanpa kontribusi.
Tulisan ku ini bisa jadi pelampiasan keluh kesahku di asrama, tapi aku yakin beasiswa ada bukan untuk di sia-siakan. Sebegitu besarnya uang yang dikucurkan, namun jika yang dihasilkan hanyalah Lintah-lintah yang siap menyedot sumber lain dikemudian hari maka sudah dipastikan itu akan menjadi Useless.
Beasiswa bagi para Lintah ini tidak lebih hanya sebagai penambah pundi-pundi kesenagan untuk menikmati masa-masa mudanya. Tidaklah mereka berpikir untuk mengupgrade diri dengan segala fasilitas yang telah disediakan, padahal mereka dituntut untuk berkontribusi setelah kembali ke masyarakat.
Ku tegaskan, merupakan hal yang sia-sia bagi sponsor beasiswa jika tidak mampu menelurkan manusia-manusia yang berkualitas dan peduli akan kemajuan bangsa. Bisa dibayangkan, Pemerintah mengeluarkan setidaknya sebesar Rp. 55 Triliun untuk Beasiswa LPDP dan sekitar Rp. 12,4 Triliun untuk Beasiswa Bidik Misi.Â
Tentu itu belum termasuk beasiswa-beasiswa yang dikucurkan oleh pihak swasta baik dalam dan luar negeri. Belum lagi dana pendidikan lain guna mensubsidi biaya pendidikan pemuda-pemuda Indonesia di Perguruan Tinggi. Semua akan sia-sia jika mereka para penerima beasiswa tidak punya sense of belonging terhadap bangsanya, tidak punya hasrat untuk berkarya demi bangsa.Â
Sekali lagi, ini hanya pandangan lemahku saja. Walau kita tidak bisa menutup mata, ada juga yang memang memafaatkan beasiswa untuk menguprgrade diri mereka. Meningkatkan kualitas diri demi persiapan untuk terjun ke masyarakat, dengan bekal ilmu yang ditimba di perguruan tinggi.
Pernah sekali aku berpikir, Indonesia tidak miskin kebudayaan dan tidak pula miskin sumber daya alam. Indonesia hanya miskin keteladanan pikirku. Setelah melihat berita-berita di televisi yang tidak habis-habisnya memberitakan tertangkapnya para pemimpin negeri karena terjerat korupsi dan kasus lainnya. Lantas kesimpulan pun kuambil, Indonesia sangat miskin keteladanan.Â
Lihatlah para pemangku negeri, mereka sibuk dengan menebalkan kantong pribadi dan lupa bahwa mereka adalah sesosok figur yang seharusnya menjadi teladan masyarakat. Tidak hanya pemimpin, banyak juga artis dan olahragawan yang tertangkap sedang menggunakan narkoba. Masyarakat semakin sulit menilai dan mencari, dimana keteladanan itu berada.
Saat itu ternyata aku sedang khilaf, pemikiran dan pandangan ku masih sangat sempit dan mungkin sekarang pun masih sama. Tapi ternyata, Indonesia tidaklah miskin keteladanan.Â
Kita masih punya banyak teladan yang baik, kita masih punya bu Risma sebagai sosok walikota yang berdampak, kita masih punya pengusaha nasionalis seperti achmad zaky, kita masih punya presiden wong kecil seperti Joko Widodo. Mereka adalah figur-figur yang inspiratif.
Mungkin kamu berpikir "ah itu kan yang sudah besar, jauh itu mah". Tapi nyatanya, disekililing kita pun masih banyak orang-orang seperti mereka. Saya kenal dekat dengan seorang yang sudah melalang buana ke luar negeri berkat prestasinya di bidang karya ilmiah tapi selalu berniat untuk bisa bermanfaat bagi yang lain, saya kenal seorang dokter yang selalu ingin menginspirasi dan memahamkan bahwa hidup harus punya planning.Â
Saya juga kenal dekat dengan senior yang selalu konsisten antara perbuatan dan perkataanya, ia menceritakan hasratnya yang menggebu-gebu untuk mengabdi demi terciptanya Indonesia yang lebih baik.
Ku rasa, orang-orang seperti ini yang harus diperbanyak. Kisah-kisah mereka perlu disebarkan agar lebih banyak lagi yang terinspirasi. Bukan foto selfie sang Lintah, atau arogansi sang Lintah ketika memamerkan sesuatu yang berasal dari beasiswanya.
Indonesia butuh lebih banyak pemimpin yang berkualitas dan peduli terhadap jatuh bangunnya bumi pertiwi ini. Indonesia menaruh harapan besar agar hutang yang telah dipinjamkan akan segera terbayarkan.Â
Bukankah kita sama-sama ingin menyaksikan sang macan asia bangkit dari tidurnya? aumannya kembali terdengar? mata rakyatnya akan kembali berbinar? sungguh sejak awal kemerdekaan, para pahlawan sudah duluan memimpikan hal tersebut.
Mari sama-sama kita bangun negeri ini,
Indonesia belum kalah, Indonesia belum boleh bubar 2030 nanti. Mari sama-sama kita basmi para Lintah ini, bahkan jika ada sifat Lintah dalam diri kita. Sudah seharusnya kita buang jauh-jauh. Kenapa tidak menjadi gula? yang larut dalam diam, memberikan kemanisan dalam sebuah kopi. Karena kebaikan itu harus diperjuangkan, kebaikan itu dirasakan.
Mungkin itulah seluruh pelampiasan kecilku kepada para Lintah, untuk para Lintah yang menyedot tanpa kontribusi. Ingatlah, kepada siapa kamu akan mempertanggunggjawabkan hal tersebut. Mulailah berubah, demi Indonesia, negeri dimana kamu melangkahkan kaki untuk yang pertama kalinya.
Akhir kata, Semangat Berindonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H