Mohon tunggu...
Heru Tri Budi
Heru Tri Budi Mohon Tunggu... Pemuka Agama - pemerhati kesehatan jiwa dan keluarga

Teman sharing keluarga dalam obrolan seputar kesehatan emosional, spiritual, relasional dalam keluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tips Membebaskan Diri dari Penjara Amarah

8 Januari 2018   10:56 Diperbarui: 9 Januari 2018   16:36 2461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah saat ini Anda sedang marah? Atau Anda sedang menghadapi seseorang yang bawaannya marah-marah melulu? Kemarahan itu bagaikan penjara yang membelenggu hidup seseorang. 

Orang yang sedang dikuasai kemarahan akan merasa tidak berdaya dengan dorongan emosi negatifnya ini sehingga kata-kata, sikap dan perilakunya akan merusak. Penghargaan, respek, kepercayaan dan relasi dengan orang lain akan menjadi rusak.

Marah adalah perasaan tidak senang terhadap seseorang atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Kemarahan biasanya akan diikuti dengan sikap permusuhan terhadap seseorang yang dianggap menyerang atau menyakitinya. Tidak ada satu orang pun yang bebas dari yang namanya kemarahan ini -- termasuk Anda juga kan?

Seorang pengajar program doctoral Universitas Yale, AS, Victoria Brescoll, melakukan penelitian dengan melibatkan sekitar 17.000 orang yang dipilih secara acak, lelaki dan perempuan. 

Brescoll melakukan tiga pengujian yang meliputi: Hal apa saja yang membuat mereka marah atau kecewa saat bekerja; Alasan apa yang tepat untuk menunjukkan kemarahan; dan hubungan kemarahan berdasarkan gaji dan posisi pekerjaannya.

Dari serangkaian tes di atas, Brescoll secara garis besar menyimpulkan bahwa para pegawai emosinya akan lebih stabil jika ada sikap saling menghormati antar rekan kerja, atasan dengan bawahan, dan adanya penghargaan yang baik atas kerja keras mereka. 

Sedangkan faktor posisi atau jabatan tidak berpengaruh secara signifikan. Baik pegawai pemula sampai eksekutif senior, tingkat kemarahannya dipengaruhi faktor-faktor seperti disebut di atas.

Brescoll juga menemukan fakta menarik tentang cara pandang tentang kemarahan pegawai di tempat kerja berdasarkan jenis kelamin. Pegawai lelaki yang marah jauh bisa lebih diterima oleh lingkungan kerja dibandingkan dengan pegawai perempuan, apa pun jabatannya. 

Kemarahan lelaki dianggap sebagai sebuah bentuk komunikasi pribadi untuk menunjukkan dominasi pada orang lain agar mereka bisa mengikuti kemauannya. Sebaliknya pegawai perempuan yang marah, baik apapun jabatannya akan dianggap rendah derajatnya karena dinilai tak bisa mengendalikan diri dan tidak berkompeten. Ini bukan hanya penilaian responden lelaki, tapi juga para responden perempuan.

Sebuah penelitian lainnya menyatakan, bahwa sebuah gen "merah" yang bertanggung jawab di balik kemarahan, tindakan kekerasan dan agresivitas seseorang telah diidentifikasi para ahli. 

Alkohol mempengaruhi terjadinya mutasi gen di otak penyebab perilaku impulsif. Para peneliti mengurai DNA dari sejumlah responden impulsif dan membandingkannya dengan orang non-impulsif. Dari situ ditemukan sebuah gen DNA tunggal yang dikenal dengan HTR2B. Gen inilah yang menyebabkan perilaku yang sangat impulsif. 

Dari temuannya, varian gen berada di belakang kejahatan impulsif manusia akibat pengaruh alkohol. Penelitian ini dilakukan oleh Dr David Goldman dari National Institute Maryland bekerja sama dengan para peneliti Finlandia dan Perancis, mereka mempelajari contoh pelaku pidana kekerasan di Finlandia.

Kemarahan tidak hanya merusak relasi, tetapi juga membuat seseorang rentan secara psikis dan fisik. Dr. John Sarno, seorang profesor di bidang obat-obatan rehabilitasi klinis di New York School of Medicine, telah menangani ribuan pasien dengan penyakit punggung. 

Pada tahun 1970-an Sarno mulai mempertanyakan diagnosis dan pengobatan populer untuk penyakit punggung, karena ia menemukan ketidakcocokan antara keadaan yang konkrit tentang penyakit dan rasa sakitnya.

Sarno mulai bertanya kepada pasiennya yang mengalami penyakit punggung kronis dan menemukan, bahwa 88 % dari mereka memiliki sejarah reaksi-reaksi akibat ketegangan. Penderita-penderita penyakit punggung juga cenderung mengalami hal-hal berikut ini: sakit kepala akibat ketegangan, sakit kepala migrain, eksema, colitis (radang usus besar), ulcers (tukak lambung), asma, demam hay, sering buang air kecil, sembelit.

Dr. Sarno kemudian menyimpulkan, bahwa sakit punggung karena kejang dan penyakit punggung kronis seringmerupakan akibat ketegangan, stres, frustasi, kecemasan, kemarahan terpendam dan kekhawatiran kronis.

Menurutnya, ketegangan mempengaruhi sirkulasi darah ke otot-otot punggung. Ketegangan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai otot-otot dan urat-urat syaraf punggung mengerut, sehingga mengurangi suplai darah dan ogsigen ke jaringan-jaringan. Akibatnya, kejang yang menyakitkan. Kondisi ini akhirnya dapat menyebabkan kekakuan otot, kesemutan, dan bahkan merosotnya kekuatan otot-otot.

Setelah Dr. Sarno menangani sisi emosional pasien, maka ia temukan pasien-pasiennya mengalami perubahan yang sangat dramatis, 90 % pasien-pasiennya menjadi bebas dari rasa sakit, 90-95 % pasiennya sembuh secara permanen -- yang berarti rasa sakit mereka sangat jarang kambuh.

Bagaimana kita bisa terbebas dari kemarahan yang memenjarakan hidup kita?

Jalan keluarnya ada pada diri kita sendiri, yaitu kehendak untuk bebas dari kemarahan tersebut. Putuskan untuk memaafkan (mengampuni) orang-orang yang telah menyakiti hati Anda. Jangan biarkan kejahatan seseorang mengalahkan Anda dengan cara menguasai jiwa Anda. Raja Daud berkata: "...mereka telah cukup menyesakkan aku sejak masa mudaku, tetapi mereka tidak dapat mengalahkan aku."

Yang kedua, buatlah manajemen emosi yang baik. Ekspresikan kemarahan Anda dengan cara yang sehat, bukan dengan caci maki atau sekadar melampiaskan kemarahan, bukan juga untuk menghancurkan orang lain, tetapi untuk menyelesaikan masalah supaya jangan berlarut-larut. Ikutilah nasihat bijaksana ini: "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu."

dok pribadi
dok pribadi
Sebenarnya, sebagaimana semua emosi yang lain, kemarahan ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang membangun dan ada yang merusak. Kemarahan yang benar adalah jika kita melihat sesuatu yang jahat, salah atau tidak adil kita terpanggil untuk memperbaikinya tanpa kebencian atau penghakiman.

Kemarahan menjadi salah jika kita melampiaskannya sebagai tindakan untuk menyatakan kebencian dan penghakiman kita kepada seseorang. Kemarahan seperti ini akan mengarahkan kita kepada kejahatan. Kemarahan yang salah lainnya adalah ketika kita menekan perasaan itu dengan alasan tidak mau ribut atau alasan yang kelihatan agamawi. 

Menekan kemarahan akan melukai jiwa kita sendiri dan ketika kita tidak sanggup lagi menahannya kemarahan tersebut akan meledak melukai orang lain. Ini juga mengarah kepada kejahatan.

Untuk itu kita perlu mengelola kemarahan dengan benar, mengakui dengan jujur, bahwa perasaan marah itu ada pada diri kita, temukan penyebab kemarahan itu dan bereskan dengan benar. 

Setelah itu lihatlah peristiwa atau seseorang yang menyebabkan Anda marah dalam perspektif rahmat Tuhan yang tetap mampu memberikan yang baik di balik yang tidak baik.

Ketika kita mengubah fokus kita dari seseorang atau peristiwa yang menyakitkan kepada pekerjaan rahmat Tuhan melalui orang atau peristiwa tersebut, maka kita akan sanggup mengelola kemarahan kita dengan baik.

Salam Sukses dan Bahagia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun