Mohon tunggu...
Heru Wahyudi
Heru Wahyudi Mohon Tunggu... Dosen - Lecture

Musafir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Liburan Macet, Hati Terasa Sesak

18 September 2024   20:21 Diperbarui: 18 September 2024   20:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : otomotif.kompas.com)

Di banyak destinasi wisata populer, pilihan transportasi publik yang efisien masih sangat terbatas. Wisatawan seringkali tidak punya pilihan selain menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa di beberapa daerah, pengembangan transportasi umum masih terkendala berbagai faktor. Akibatnya, jumlah kendaraan pribadi yang membanjiri kawasan wisata menjadi tak terkendali.

Faktor manusia juga tak bisa diabaikan. Banyak wisatawan yang, dalam semangat berlibur, mengabaikan etika berlalu lintas. Pelanggaran seperti parkir sembarangan, melawan arus, atau menerobos lampu merah bukan pemandangan asing di kawasan wisata saat peak season. Perilaku ini tidak hanya membahayakan keselamatan, tapi juga memperparah kemacetan.

Meski upaya pengaturan lalu lintas telah dilakukan, seperti sistem one way yang diterapkan di Puncak, seringkali langkah ini bersifat reaktif dan temporer. Diperlukan manajemen lalu lintas yang lebih komprehensif dan antisipatif, terutama dalam menghadapi lonjakan wisatawan di momen libur panjang.

Kemacetan di kawasan wisata bukan hanya masalah ketidaknyamanan, tapi juga berdampak serius pada ekonomi dan lingkungan. Studi menunjukkan bahwa kemacetan dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat setempat, mengutip tarubali.baliprov.go.id (26/03/2024). Belum lagi dampak polusi udara yang ditimbulkan.

Sebagai wisatawan, kita juga punya peran penting. Merencanakan perjalanan dengan lebih bijak, memilih waktu kunjungan di luar peak season, atau mencoba destinasi alternatif yang belum terlalu ramai bisa menjadi cara kecil yang berdampak besar.

Solusi Mengatasi Kemacetan di Daerah Wisata

Salah satu solusi yang paling mendasar adalah memperbaiki infrastruktur jalan. Pengembangan jalur alternatif dan pelebaran jalan bisa menjadi langkah awal. Contohnya, pembangunan Jalan Tol Cisumdawu di Jawa Barat yang berhasil mengurai kemacetan menuju Bandung. Meski membutuhkan investasi besar, langkah ini bisa memberikan dampak jangka panjang.

Transportasi massal yang efisien bisa menjadi game changer dalam mengatasi kemacetan. Beberapa negara telah berhasil menerapkan hal ini. Misalnya, di Zermatt, Swiss, kota ini melarang kendaraan bermotor dan menyediakan kereta listrik untuk wisatawan. Implementasi serupa, disesuaikan dengan kondisi lokal, bisa menjadi solusi menarik untuk kawasan wisata di Indonesia.

Pembatasan kendaraan pribadi mungkin terdengar ekstrem, tapi terbukti efektif di beberapa destinasi. Pulau Bali, misalnya, pernah mempertimbangkan pembatasan jumlah kendaraan yang masuk ke pulau tersebut untuk mengurangi kemacetan. Meski kontroversial, langkah ini bisa menjadi opsi jika diimbangi dengan penyediaan transportasi publik yang memadai.

Sistem kuota kunjungan bisa menjadi solusi untuk mengendalikan arus wisatawan. Taman Nasional Komodo telah menerapkan sistem ini dengan membatasi jumlah pengunjung dan menaikkan harga tiket masuk. Meski awalnya menuai kontroversi, langkah ini bisa membantu menjaga keseimbangan antara kenyamanan wisatawan dan kelestarian lingkungan.

Penerapan solusi-solusi ini tentu bukan perkara mudah. Butuh kolaborasi yang erat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat. Selain itu, edukasi kepada wisatawan juga menjadi kunci penting. Wisatawan perlu memahami pentingnya berpartisipasi dalam upaya mengurangi kemacetan, misalnya dengan memilih transportasi publik atau mengunjungi destinasi di luar jam sibuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun