Mohon tunggu...
Heru Wahyudi
Heru Wahyudi Mohon Tunggu... Dosen - Lecture

Musafir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Liburan Macet, Hati Terasa Sesak

18 September 2024   20:21 Diperbarui: 18 September 2024   20:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : otomotif.kompas.com)

Siapa sih yang tidak ingin berlibur? Apalagi setelah berbulan-bulan terkurung dalam rutinitas yang melelahkan.

Meski, keinginan untuk melepas penat seringkali berhadapan dengan realitas yang kurang menyenangkan: kemacetan panjang di jalanan menuju tempat wisata. Meski begitu, banyak dari kita tetap nekat berangkat. Mengapa?

Kebutuhan untuk refreshing dan melepas penat dari rutinitas menjadi alasan utama banyak orang tetap memilih berlibur meskipun tahu akan menghadapi macet libur panjang. Menurut sebuah studi, liburan dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental. Bahkan hanya dengan merencanakan liburan saja, tingkat kebahagiaan seseorang sudah dapat meningkat.

Selain itu, momen quality time bersama keluarga yang jarang didapat menjadi motivasi kuat untuk tetap pergi berlibur. Di tengah kesibukan sehari-hari, liburan menjadi kesempatan emas untuk mempererat ikatan keluarga dan menciptakan kenangan bersama. Bagi banyak orang, nilai dari momen kebersamaan ini jauh melebihi ketidaknyamanan macet libur panjang yang harus dihadapi.

FOMO atau Fear of Missing Out juga menjadi pendorong orang-orang untuk tetap berlibur meski tahu akan macet. Di era media sosial, kita seringkali merasa tertekan untuk mengikuti tren liburan yang sedang viral. Takut ketinggalan momen atau dianggap kurang update, banyak orang rela berdesak-desakan demi bisa mengunjungi destinasi yang sedang hits.

Terakhir, keindahan destinasi yang dianggap "worth it" meski harus bermacet-macet juga menjadi alasan kuat. Pemandangan alam yang memukau, kuliner lezat, atau pengalaman unik yang ditawarkan suatu tempat wisata seringkali dianggap sebagai hadiah yang sepadan setelah perjuangan melewati macet libur panjang.

Meski motivasi-motivasi ini dapat dipahami, kita juga perlu mempertimbangkan dampak negatif dari keputusan berlibur di saat puncak keramaian. Kemacetan tidak hanya menimbulkan stres dan kelelahan, tapi juga berdampak pada lingkungan dan ekonomi. Sebuah studi menunjukkan bahwa macet libur panjang di daerah wisata dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat setempat.

Jadi, apakah kita harus mengorbankan keinginan berlibur demi menghindari macet libur panjang? Tentu tidak. Yang diperlukan adalah perencanaan yang lebih bijak dan kesadaran kolektif. Memilih waktu liburan di luar peak season, mencari destinasi alternatif yang belum terlalu ramai, atau memanfaatkan transportasi publik bisa menjadi solusi.

Penyebab Kemacetan Berulang 

Salah satu akar masalah utama adalah ketidaksiapan infrastruktur dalam menghadapi lonjakan wisatawan. Contoh nyata bisa kita lihat di kawasan Puncak, Bogor, yang baru-baru ini mengalami kemacetan hingga 24 jam, melansir cnnindonesia.com (17/09/2024). Jalan-jalan sempit yang didesain puluhan tahun lalu kini harus menampung ribuan kendaraan sekaligus. Akibatnya, bottleneck tak terhindarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun