Mohon tunggu...
Heru Wahyudi
Heru Wahyudi Mohon Tunggu... Dosen - Lecture

Musafir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Paradigma Administrasi Negara Indonesia dari Kolonial hingga Modern

10 Mei 2024   13:45 Diperbarui: 10 Mei 2024   19:49 1905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: https://i.ytimg.com/)

Pada era pra-kemerdekaan Indonesia ditandai dengan penerapan sistem birokrasi kolonial Belanda yang bersifat sentralistik dan otokratis. Sistem ini, meski menekankan efisiensi dan efektivitas dalam menjalankan tugas pemerintahan, memiliki kelemahan inheren dalam hal akuntabilitas dan transparansi terhadap publik.

Mengutip, H. M. S. Ramli  (2018) mengilustrasikan realitas tersebut. Beliau mengemukakan bahwa sistem birokrasi pra-kemerdekaan seperti alat yang dimanipulasi untuk mempertahankan kekuasaan kolonial, mengabaikan kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi fokus utama.

Lebih lanjut, Ramli menjelaskan bahwa sentralisasi dan otoritarianisme dalam sistem birokrasi ini melahirkan budaya birokrasi yang kaku dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Memicu ketimpangan dan ketidakadilan, di mana rakyat hanya menjadi objek eksploitasi kolonialisme.

Meski demikian, periode ini tak hanya tanpa perlawanan. Semangat kemerdekaan terus mengakar di hati rakyat, mendorong rakyat untuk memperjuangkan hak dan kedaulatannya. Perjuangan ini pada akhirnya mengantarkan Indonesia pada kemerdekaannya di tahun 1945.

Paradigma Administrasi Negara Orde Lama (1945-1966)

Era Orde Lama (1945-1966) menjadi periode utama dalam evolusi administrasi negara Indonesia. Melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, era ini mengantarkan transisi fokus menuju pembangunan nasional dan pengarusutamaan ideologi Pancasila. Lahirlah paradigma baru: "Administrasi Negara Sebagai Alat Revolusi". Paradigma ini mengusung semangat mobilisasi massa dan partisipasi rakyat, mewarnai lanskap birokrasi Indonesia.

Lebih dari  mengejar efisiensi dan efektivitas, administrasi negara era Orde Lama mengedepankan kepentingan rakyat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh H. M. S. Ramli (2018), yang menggarisbawahi peran sentral administrasi negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Paradigma "Administrasi Negara Sebagai Alat Revolusi" membuka jalan bagi partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Sebuah langkah maju menuju birokrasi yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Walau, era ini tak luput dari sorotan kritis. Sentralisasi kekuasaan dan dominasi sistem Demokrasi Terpimpin memicu kekhawatiran akan potensi represi dan pembatasan ruang publik. Dinamika politik yang bergejolak pun turut memengaruhi stabilitas dan efektivitas birokrasi.

Meski demikian, era Orde Lama meninggalkan warisan berharga dalam perjalanan administrasi negara Indonesia. Lahirnya paradigma baru dan semangat partisipasi rakyat menjadi fondasi bagi perkembangan birokrasi di era selanjutnya.

Menjadi catatan bahwa era Orde Lama juga diwarnai dengan berbagai tantangan. Sentralisasi kekuasaan dan dominasi sistem Demokrasi Terpimpin, meski bertujuan untuk mempersatukan bangsa, dapat menimbulkan kekhawatiran akan potensi represi dan pembatasan ruang publik. Selain itu, dinamika politik yang bergejolak pada masa itu turut memengaruhi stabilitas dan efektivitas birokrasi.

Paradigma Administrasi Negara Orde Baru (1966-1998)

Era Orde Baru (1966-1998), dikenal dengan fokus kuat pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Paradigma "Administrasi Negara Sebagai Alat Pembangunan" digagas dan diimplementasikan, mengusung sentralisasi, efisiensi, dan teknokrasi sebagai prinsip fundamental. Paradigma ini bertujuan untuk mewujudkan administrasi negara yang efektif dan efisien dalam menjalankan tugasnya.

Kendati paradigma ini membawa kemajuan di berbagai bidang, beberapa kritik muncul terkait sentralisasi yang berlebihan dan kurangnya akuntabilitas. Kekhawatiran diutarakan terkait minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, serta transparansi yang kurang memadai dalam penggunaan sumber daya. Kritik-kritik ini menjadi catatan penting, menunjukkan bahwa paradigma "Administrasi Negara Sebagai Alat Pembangunan" memiliki keterbatasan dan perlu dievaluasi secara berkala.

Paradigma Administrasi Negara Reformasi (1998-sekarang)

Era Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 menandai babak baru dalam sejarah administrasi negara Indonesia. Era ini membawa pergeseran paradigma, dengan fokus utama pada demokrasi, good governance, dan akuntabilitas. Hal ini melahirkan paradigma baru yaitu "Administrasi Negara Sebagai Pelayan Publik", yang menekankan pada pelayanan publik yang berkualitas dan berorientasi pada masyarakat.

Paradigma baru ini membawa angin segar bagi birokrasi Indonesia. Demokratisasi membuka ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan. Good governance menjadi kompas untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Namun, perjalanan menuju good governance tidaklah mudah. Tantangan utama dalam era ini adalah mewujudkan paradigma "Administrasi Negara Sebagai Pelayan Publik" secara menyeluruh dan mengatasi korupsi yang masih mengakar. Korupsi menjadi batu sandungan utama dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan berorientasi pada rakyat.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, korupsi masih menjadi isu yang relevan hingga saat ini, (S. Rasul, 2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi salah satu penghambat utama dalam mewujudkan good governance di Indonesia.

Tantangan dan Prospek Masa Depan Administrasi Negara

Meningkatnya kompleksitas dan dinamika lingkungan global menuntut transformasi fundamental menuju paradigma yang lebih inovatif dan adaptif.

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memegang peranan dalam menjawab tantangan ini. Penerapan TIK secara optimal dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas administrasi negara. Hal ini sejalan dengan tren global menuju e-Government, di mana pemanfaatan TIK menjadi fondasi utama dalam tata kelola pemerintahan yang modern dan transparan.

Namun, perlu dicatat bahwa TIK juga menghadirkan problem baru dalam pengelolaan data dan keamanan siber. Oleh karena itu, diperlukan regulasi dan tata kelola yang komprehensif untuk memastikan pemanfaatan TIK yang aman, bertanggung jawab, dan selaras dengan prinsip-prinsip good governance.

Kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi pilar penting dalam mewujudkan transformasi ini. Sinergi antar-pemangku kepentingan dapat membuka peluang partisipasi masyarakat yang lebih luas, demi mewujudkan pelayanan publik yang prima dan berkualitas. Hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai skema kerjasama, seperti Public Private Partnership (PPP) dan Open Government Initiative (OGI).

Transformasi administrasi negara ini bukan tanpa hambatan. Tantangan internal seperti budaya birokrasi yang kaku, infrastruktur TIK yang belum memadai, dan sumber daya manusia yang belum siap perlu diidentifikasi dan diatasi dengan tepat. Di sisi eksternal, volatilitas global, seperti krisis ekonomi dan pandemi, dapat menjadi faktor penghambat transformasi.

Maka, perlu strategi yang komprehensif dan terukur untuk mewujudkan transformasi ini. Strategi tersebut mencakup:

Pengembangan visi dan misi yang jelas dan terarah: Visi dan misi ini harus selaras dengan tujuan nasional dan mencerminkan nilai-nilai demokrasi, good governance, dan pelayanan publik yang berkualitas.

Penyusunan roadmap dan rencana aksi yang terstruktur: Roadmap dan rencana aksi ini harus memuat target yang jelas, terukur, dan achievable, serta strategi untuk mencapai target tersebut.

Penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia: Kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia perlu diperkuat melalui pelatihan, pengembangan, dan riset.

Pembangunan infrastruktur TIK yang modern dan aman: Infrastruktur TIK yang modern dan aman merupakan prasyarat utama untuk mendukung transformasi digital dalam administrasi negara.

Peningkatan kolaborasi antara sektor publik dan swasta: Kolaborasi ini dapat diwujudkan melalui berbagai skema kerjasama, seperti PPP dan OGI.

Penegakan hukum dan regulasi yang tegas: Penegakan hukum dan regulasi yang tegas diperlukan untuk memastikan pemanfaatan TIK yang bertanggung jawab dan akuntabel.

Transformasi administrasi negara ini merupakan proses yang berkelanjutan dan membutuhkan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan. Lewat strategi yang sesuai dan implementasi yang efektif, administrasi negara Indonesia akan mampu beradaptasi dengan dinamika globalisasi dan mewujudkan pelayanan publik yang prima dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun