Tantangannya, walau bagaimanapun, menjaga keseimbangan antara melestarikan warisan dan membuka ruang bagi inovasi dan revitalisasi, agar setiap kota tetap hidup dan bernapas dengan karakter kearifan lokalnya.
Arsitektur Kota Lama Peninggalan Keraton di Indonesia
Menelusuri kota lama yang dipagari oleh keraton, seperti Surakarta dan Yogyakarta, seperti masuk ke lorong waktu dengan warisan budaya Jawa.Â
Saat berjalan melewati bangunan-bangunan keraton megah, alun-alun yang ramai, pasar tradisional yang bersahaja, dan masjid-masjid bersejarah, saya merasakan keanggunan arsitektur yang begitu kaya dan sarat makna.
Keraton Kasunanan Surakarta, sebagai inti konsep tata ruang kota Solo, memberikan kehadiran monumental, sementara Keraton Yogyakarta menyuguhkan kawasan yang mencerminkan kehidupan istana dan kesetiaan masyarakat di sekitarnya.
Arsitektur kota lama yang menjadi peninggalan Keraton tak hanya sekadar struktur fisik, tapi juga menjadi jendela dalam kehidupan masyarakatnya. Dampaknya terasa dalam segala hal, dari budaya hingga tradisi, bahkan nilai-nilai sosial.
Tata ruang kota lama tersebut mengartikan kosmologi dan orientasi budaya Jawa, yang membentuk dasar kehidupan sehari-hari. Setiap bangunannya menjadi bagian dari narasi identitas dan sejarah masyarakat setempat.
Arsitektur Kota Baru Peninggalan Belanda
Ketika menjelajahi kota-kota baru yang menyimpan warisan Belanda, seperti Kotabaru di Yogyakarta dan Semarang, mau tak mau saya juga terpesona oleh arsitektur yang menyuguhkan jejak kolonial Belanda di masanya.Â
Kotabaru Yogyakarta, sebagai contoh, tampaknya dirancang sebagai sebuah alternatif pemukiman bagi orang Belanda, memajang  konsep "garden city" dan arsitektur yang meniru gaya Eropa, khususnya London.
Di sepanjang jalan-jalan Kotabaru, bangunan-bangunan bersejarah Belanda tersebar, termasuk Gereja Santo Antonius Kotabaru, yang tak hanya jadi bagian integral dari kota tersebut, tapi juga menandai sejarah yang pernah dilewati.