Arsitektur, bagi saya, tak hanya bangunan fisik; arsitektur adalah adonan dari cipta, rasa dan karsa suatu kota.Â
Saat saya mengayunkan kaki di antara bangunan-bangunan bersejarah, seolah-olah diundang untuk merasakan denyut waktu di masa lalu.
Kota lama, peninggalan adiluhung dari keraton, seperti Kota Lama Semarang, Kasunanan Surakarta, dan Keraton Yogyakarta jadi bangunan saksi bisu kejayaan di masa lampau.Â
Bangunan-bangunan kokoh yang renta, ornamen dan simbol artistik, semuanya menceritakan "narasi visual" tentang kehidupan di eranya.
Melenggang di antara keraton yang pernah digdaya, mau tak mau, saya terpesona oleh keindahan dan keagungan yang terpahat dalam setiap batu dan ukirannya.
Yah, seberapapun kita mencintai dan melestarikan warisan masa lalu, tak bisa dipungkiri bahwa ada kota baru yang tumbuh dengan identitas yang berbeda.
Kotabaru Jogja, sebagai contoh, menghadirkan wujud kota elite dengan konsep "garden city" yang dipersembahkan untuk orang-orang Eropa.
Ketika berjalan di jalanan yang tersusun rapi, saya tertegun pada perubahan arsitektur di era kolonial. Sepintas, dalam keelitan ruang terbuka hijau, saya juga melihat "kelas sosial" yang diciptakan.
Tentunya, saya sadar bahwa arsitektur tak hanya tentang bahan bangunan dan desain estetis. Arsitektur juga simbol dalam menyampaikan cerita, kuasa, dan relasi sosial.Â
Dari dualitas arsitektur tersebut, Indonesia mencipta sebuah peta memori yang mengajak kita untuk menyelami "sinkretisasi" identitas.