Melalui juru bicara Sekretaris PP Muhamadiyah Abdul  Mu'ti mendukung pemilu tertutup atau coblos partai (CNN,30/12/22). Alasannya sistem pemilu tersebut meningkatkan praktek money politis yang berlebihan dan membunuh  pamor partai dan kedaulatan partai.
Pertanyaannya, apakah sistem proporsional tertutup akan menjamin atau memastikan praktek politik uang ? Apakah sistem tertutup tersebut betul mereduksi biaya politik / ongkos politik ?
Diperkirakan tidak ada jaminan proses politik pencalegan terbebas dari politik uang,atau setidaknya Caleg akan tetap dipaksa untuk belanja politik dalam rangka mensukseskan pencalegan dirinya, mendukung dan turut serta andil membiayai  infrastruktur partai.
Apapun sistem pemilu yang akan diterapkan, tetap saja Caleg harus belanja politik dengan tidak sedikit keluarkan uang pribadi atau harus meminjam dana dari pihak ketiga.
 Yang tidak setuju atas pernyataan kesimpulan tersebut, silahkan buktikan jika Anda bersih dari politik uang. Anda pantas menjadi "politisi sosial" milik masyarakat dan aset mahal untuk demokrasi. Anda akan menjadi negarawan yang akan menjadi icon demokrasi sesungguhnya di blantika politik tanah air.
Besaran Ongkos Politik
Jika dihitung dengan rupiah, dibutuhkan kisaran biaya 500 rb -1 juta rupiah per satu suara. Itu pun dihitung mundur 2-3 tahun dari Jadwal resmi dari KPU pendaftaran Caleg. Belum biaya saat hari H pencoblosan ,harus menyiapkan ribuan amplop untuk serangan wajar.
Individu yang akan terjun sebagai bakal Caleg dituntut oleh partai agar melibatkan diri dan sudah melakukan sosialisasi dini ke masyarakat /konstituens.Individu sudah memulai mengucurkan dana untuk  diberikan dalam bentuk kegiatan sosial, sumbangan pribadi dan sumbangan taktis / tak terduga.
Bayangkan ,satu Caleg yang menginginkan suara di daerah pemilihan kabupaten dan kota( DPRD Kab./ Kota) Â butuh 8000 pemilih. Tinggal kalikan saja biaya sosialisasi dan belanja politik yang akan dikeluarkannya. Â Jumlah milyaran bahkan puluhan milyaran yang harus berbelanja politik.
Fakta, hanya orang nekat dan haus kekuasaan yang akan menerima realitas hukum pasar jika untuk menjadi anggota dewan membutuhkan pendanaan jumbo.
Risiko paling pahit jika gagal menjadi anggota dewan adalah menjadi gila atau pura- pura gila. Makanya banyak Caleg menjadi stres atau gila karena gagal menjadi dewan dan telah membuang ratusan bahkan milyaran rupiah. Parahnya mereka sudah menjual ,gadaikan aset atau meminjam bank sebagai sumber pembiayaan pencalegan..