Mohon tunggu...
Heru Widiatmo
Heru Widiatmo Mohon Tunggu... -

Senior Psychometrician at American College Testing (ACT, Inc), Iowa City, Iowa, USA.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UN dan Ketidakjujuran

26 Maret 2010   21:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kedua, jika UN tetap ingin digunakan sebagai alat penentu kelulusan dan hanya dilaksanakan satu tahun satu kali, perlu mendesain UN yang adil dalam arti tingkat kesukaran UN disesuaikan dengan kualitas sekolah. Sekolah berkualitas baik tentunya perlu memperoleh paket-paket tes yang lebih sulit daripada sekolah berkualitas kurang. Perbedaan tingkat kesukaran antarpaket dapat ditanggulangi dengan metode equating (penyetaraan tingkat kesukaran) sehingga semua paket berada pada skala yang sama.

Apa yang berlangsung di UN sekarang adalah ibarat kejuaraan loncat tinggi sekaligus ajang seleksi atlet untuk ikut Pekan Olahraga Nasional (PON) yang diikuti oleh peserta dengan kemampuan sangat heterogen. Ada atlet tingkat kampung, ada juara provinsi atau nasional, bahkan juga ada juara olimpiade. Panitia penyelenggara pasti bingung, darimana tinggi mistar akan dimulai? Mulai dari 2,0 m, mistar akan terlalu tinggi dan membuat frustrasi atlet tingkat kampung (mungkin juga bagi atlet nasional). Akan tetapi jika di 1,50 m mistar terlalu rendah dan buang-buang waktu serta tenaga saja bagi si juara olimpiade.

Fakta lain, kejuaraan ini tidak akan menarik. Masyarakat sudah tahu jika kompetisi ini berjalan jujur, si juara olimpiade akan menjadi pemenang, sedangkan si atlet tingkat kampung akan menjadi juru kunci, bahkan mungkin tidak dapat ikut PON. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hasil kejuaraan memutarbalikkan nalar waras masyarakat. Si atlet tingkat kampung tidak hanya dapat lolos untuk ikut ke PON, tetapi juga menjadi juara mengalahkan juara olimpiade. Selidik punya selidik, karena takut tidak dapat lolos ke PON yang berarti kariernya tamat, si atlet kampung ini melakukan kecurangan dengan menggunakan alat bantu (seperti tangga, kursi, atau meja) agar dapat meloncati mistar.

Ketiga, terlepas dari pro dan kontra pelaksanaan UN, perlu diimbau kepada orang tua murid, guru, kepala sekolah, pejabat daerah, dan mereka yang terlibat di dalamnya untuk ikut mengawasi dan mendukung siswa untuk mengerjakan UN dengan jujur. Kejujuran dalam mengerjakan UN merupakan suatu keharusan karena ketidakjujuran berakibat buruk pada rasa keadilan, merusak tujuan dari UN yang dibuat dan dilaksanakan dengan dana sangat besar, serta akan memperparah ketidakjujuran generasi muda kita.

Selain itu perlu diinformasikan kepada mereka bahwa ketidakjujuran dalam melaksanakan UN dapat dideteksi dengan menggunakan suatu metode statistik. Dua tahun terakhir ini, menteri dan pejabat pusat Diknas telah mendapat laporan tentang sekolah-sekolah dan daerah-daerah mana saja yang perlu mendapat "pembinaan" agar melaksanakan UN secara jujur.***

Penulis, alumnus University of Iowa, AS, pernah bekerja di ACT Inc., Iowa City, Iowa, AS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun