Membaca karut-marut Ujian Nasional (UN) yang tahun ini memasuki penyelengaraan tahun ke 7, saya jadi teringat tulisan saya sekitar tiga tahun lalu dengan judul "UN dan Ketidakjujuran" yang diterbitkan sebuah surat kabar. Walaupun tulisan usang, tapi informasinya masih up to date, dan akan tetap menghantui selama Sistim Penilaian Pendidikan Nasional menggunakan model UN seperti sekarang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
MULAI Selasa (22/4) hingga Kamis (24/4), siswa-siswa SD, SMP, dan SMA/SMK akan menghadapi ujian nasional (UN) yang akan diikuti sekitar 10 juta peserta didik dan diperkirakan menghabiskan dana sampai Rp 1 triliun. Bagi siswa-siswa SD, UN sekarang yang disebut ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) adalah untuk pertama kalinya. Sementara itu bagi siswa sekolah menengah, ujian ini merupakan pelaksanaan yang kelima kalinya, dengan jumlah mata pelajaran dua kali lipat dari mata uji tahun sebelumnya.
Rasanya hampir dapat dipastikan, kita akan kembali disuguhi permasalahan tahun-tahun sebelumnya, seperti beredarnya kunci jawaban, oknum kepala sekolah/pejabat daerah membuat "tim sukses" UN dan siswa menyontek jawaban siswa lainnya.
Tidak perlu dimungkiri bahwa ketidaksiapan siswa dan keharusan mereka lulus UN yang hanya diselenggarakan satu kali dalam satu tahun, memaksa siswa, orang tua siswa, guru, kepala sekolah, dan pejabat setempat melakukan kolaborasi untuk melakukan kecurangan. Kita masih ingat guru-guru dari kelompok Air Mata Guru di Medan membuat headline di media cetak dan elektronik pada pelaksanaan UN tahun kemarin karena mereka menolak "membantu" siswanya agar "sukses" UN.
Hal yang menarik, kecurangan mungkin tidak hanya ditujukan untuk membantu siswa agar lulus UN, tetapi juga sebagai prestise agar ranking nilai UN sekolah atau daerah berada di papan atas tingkat nasional. Ranking-ranking nilai UN yang setiap tahun dikeluarkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) menggambarkan sinyalemen ini. Hampir seluruh sepuluh besar papan atas di UN dikuasai oleh sekolah-sekolah yang tidak pernah terdengar punya prestasi di tingkat provinsi, apalagi tingkat nasional, dan lima besar ranking kabupaten/kotamadya juga dimonopoli oleh daerah-daerah yang tidak berprestasi di dunia pendidikan.
Kasus Garut
Masih ingat kasus Kabupaten Garut pada pelaksanaan UN 2006? Kompas 30 Juni 2006 melaporkan bahwa Agus Sugandhi, Sekretaris Jenderal Garut Governance Watch, menengarai adanya kecurangan dalam pelaksanaan UN di Kab. Garut karena adanya tekanan dari sejumlah pejabat daerah untuk menyukseskan tingkat kelulusan 100%.
Di pihak lain, para pejabat yang merasa dituding membantah adanya sinyalemen kecurangan, tetapi mereka mengakui adanya beberapa oknum sekolah yang melakukannya. Walaupun mereka membantah, melihat data hasil UN, ketidakjujuran berjemaah telah terjadi dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan data dari Puspendik, Kab. Garut mengalami peningkatan luar biasa dalam UN. Di Jawa Barat, dalam UN SMP pada tahun 2004 Kab. Garut menduduki posisi ke-11 di antara daerah tingkat dua, tetapi tiba-tiba melejit ke depan dengan menduduki posisi keempat pada tahun 2005, dan akhirnya menjadi juara pada tahun 2006.
Prestasi luar biasa seperti ini juga dicapai Kab. Garut dalam UN SMA. Di tingkat nasional, Kab. Garut pada tahun 2006 menempati urutan pertama dalam prestasi kelulusan yang hampir 100%, 99,75% untuk SMP dan 99,93% untuk SMA. Sebagai pembanding, persentase kelulusan nasional adalah 92.68% dan 94.04% masing-masing untuk tingkat SMP dan SMA.