Apakah prestasi Kab. Garut ini berkolerasi positif dengan peningkatan layanan pendidikannya? Ternyata tidak. Menurut hasil survei Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa tahun terakhir, kualitas layanan pendidikan di Garut selalu yang terburuk di tanah air. Ketidakwajaran "prestasi" Kab. Garut ini juga terdeteksi pada buku Index Objektivitas yang disusun oleh Puspendik. Buku ini berisi indeks ketidakwajaran atau ketidakjujuran setiap sekolah, kabupaten/kotamadya, dan provinsi dalam pelaksanaan UN. Sebagai informasi, di buku ini indeks ketidakwajaran Kab. Garut terbesar di antara daerah-daerah tingkat dua.
Pada pelaksanaan UN 2007, berita kecurangan tidak nyaring terdengar dari Kab. Garut dan kalah nyaring dengan berita dari Kotamadya Medan yang dibawakan oleh kelompok Air Mata Guru. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, karena tingkat kecurangan di Kab. Garut menurun atau karena daerah lain intensitas kecurangannya meningkat. Dari seluruh daerah di Jabar pada tahun tersebut posisi Kab. Garut sedikit melorot ke urutan tiga dalam UN.
Metode statistik
Masalah kecurangan peserta tes dalam menjawab soal-soal pilihan ganda bertahun-tahun telah menjadi perhatian para ahli di bidang educational measurement (penilaian pendidikan). Mereka mengembangkan metode statistik untuk mendeteksi siapa-siapa saja yang diduga melakukannya. Metode ini dibagi menjadi dua kategori. Masing-masing metode berdasarkan teori peluang menjawab soal dan metode berdasarkan perbandingan pola jawaban antarpeserta tes.
The index (Frary, Tideman, & Watts, 1977) dan the index (Wollack, 1997) adalah contoh metode kategori pertama. Kedua metode ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa setiap peserta tes punya peluang menjawab benar atau salah suatu soal yang diberikan berdasarkan tingkat kemampuan dia dan tingkat kesukaran soal tersebut. Dalam kondisi tidak terjadi kecurangan, peluang dia menjawab benar pada soal-soal mudah dan menjawab salah pada soal-soal sukar akan lebih besar. Kedua metode ini sama, perbedaannya yang pertama berdasarkan teori tes klasik dan yang satu lagi berdasarkan teori tes modern (Item Response Theory).
Contoh dari kategori kedua adalah the K index (Holland, 1996) dan the Pair1 and Pair2 indices (Hanson, Harris, & Brennan, 1987). Dasar dari metode ini sederhana, yaitu dengan membandingkan pola jawaban pasangan-pasangan peserta tes yang dicurigai dengan distribusi jawaban dari pasangan-pasangan peserta tes yang disebut benchmark group. Benchmark group adalah kelompok peserta tes yang tidak mungkin (sangat kecil kemungkinannya) menyontek satu sama lain (melakukan kecurangan) karena mereka berada di lokasi tes yang berbeda. ACT atau American College Testing yang merupakan suatu lembaga testing ternama di Amerika Serikat menerapkan the Pair1 and Pair2 indices untuk mendeteksi ketidakwajaran jawaban peserta tes dalam tesnya.
Metode di atas digunakan sebagai metode statistik untuk mendapatkan informasi tambahan apakah individu peserta tes menyontek atau tidak, biasanya setelah pengawas tes melaporkan adanya kecurigaan terhadap peserta tersebut. Akan tetapi, metode tersebut tidak untuk mendeteksi penyontekan kelompok peserta tes (dalam arti kelas, sekolah, kotamadya/kabupaten, dan/atau provinsi) yang mungkin terjadi pada pelaksanaan UN. Penulis mengembangkan the Pair1 and Pair2 indices untuk mendeteksi ketidakwajaran jawaban kelompok peserta UN yang hasilnya berupa Index Objektivitas.
Mengurangi ketidakjujuran
Untuk mengurangi kecurangan dan perbaikan UN, pemerintah dalam hal ini Diknas perlu memerhatikan tiga saran berikut. Pertama, bagikan secara random (acak) semua paralel paket tes (dengan asumsi tidak ada soal-soal yang sama antarpaket) yang digunakan pada tahun tersebut pada setiap ruangan tes. Banyaknya paket-paket soal dalam suatu ruangan tes akan menyulitkan siswa (dan juga sekolah) melakukan kecurangan. Misal, ada 10 paket tes pada tahun tersebut dan ada 30 siswa dalam satu ruangan, maka kemungkinannya hanya ada tiga orang yang akan memperoleh paket tes yang sama dalam satu ruangan tes. Lebih lanjut, kemungkinan dua siswa yang duduk berdekatan memperoleh paket tes sama sangat kecil 0,01 (satu berbanding 100).
Juga dari masalah kebocoran cara ini lebih aman karena belum tentu siswa yang mendapatkan bocoran soal atau jawaban paket tertentu akan mendapatkan soal-soal tersebut pada saat ujian. Walaupun, andaikan, semua paket soal bocor, siswa akan kesulitan mempelajari /menghafalkan semua jawaban soal-soal UN karena keterbatasan waktu dan banyaknya paket yang diadministrasikan. Sebagai contoh, jika UN SMP dengan empat bidang studi berjumlah 180 soal (40, 40, 50, dan 50 soal masing-masing untuk matematika, IPA, bahasa Indonesia, dan Inggris) dan masing-masing bidang studi ada sepuluh paket yang diadministrasikan bocor, maka akan ada 1.800 soal yang harus dihafalkan jawabannya dalam waktu tidak lebih dari 48 jam (dua hari menjelang pelaksanaan paket-paket soal UN didistribusikan ke daerah tingkat dua) oleh siswa pada saat UN.
Kalau siswa dapat lulus UN dengan banyaknya jumlah paket soal yang digunakan, ini lebih karena siswa dapat mengerjakan soal-soal ujian ketimbang karena mereka mendapat bocoran soal atau jawabannya. Bandingkan dengan UN sekarang karena hanya ada dua paket soal (terlebih jika banyak soal yang sama antarpaket) digunakan di setiap provinsi jika bocor satu paket, risiko kegagalan UN di provinsi tersebut besar.