Matius 2:3-4 Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem. Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan.
Matius 2:11 Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.
Kajian rangkaian ayat tersebut menyatakan keterbukaan pemberi kepada publik. Publik dapat tahu tak ada niat lain dalam relasi koneksitas pemberian hadiah.
Ayat-ayat tersebut di atas merangkai pesan dari masa lalu ke masa kini dan ruang teologi yang memberikan pedoman bahwa aspek gratifikasi seyogyanya bukan suatu hal yang kabur. Bahkan sejak masa lalu cara menerima gratifikasi legal dilakukan di depan publik terbuka bagi semua pihak. Kiat pemberian hadiah seperti hadiah kuis legal atau door prize yang diumumkan dengan limit kriteria sifat publiknya minimal terpenuhi segera tersiar sesuai media publik tradisional pun modern yang terbuka bagi ke pihak manusia lain jelas dan tuntas.
Hadiah yang diberi diam-diam menjadi subsidi kegagalan bagi penerimanya. Memberi hadiah kepada orang yang terbukti sukses melakukan sesuatu sudah lumrah. Namun banyak contoh sat ini banyak terlihat nyata bahwa pemanfaatan “kegagalan” juga menjadi faktor kunci orang mendapatkan subsidi / insentif.
Misalnya karena gagal membuat jalan yang berkualitas tinggi meski biayanya memadai, maka seseorang yang menanggungjawab kegiatan itu membuat laporan kepada pimpinan bahwa target kegiatan tersebut belum tercapai karena kekurangan “biaya” yang di buat berdasarkan data dan analisis yang subyektif. Pimpinan yang merasa anak buahnya itu “kompeten”, langsung merespon dengan saran dan keputusan segera menyusun langkah selanjutnya, menambah biaya kegiatan tersebut pada tahap berikutnya. Padahal bila di kaji secara obyektif, tanpa “gratifikasi” atau sejenisnya, akan dapat diketahui bahwa “laporan kegagalan” itu memang dipersiapkan matang untuk memperoleh “subsidi kegagalan” berupa tambahan uang nominal agar menjadi bonus hadiah terselubung melalui penambahan kegiatan tahapan berikutnya yang seyogyanya sudah selesai atau tak perlu ada tahapan apa pun lagi. Jadi untuk menilai baik benarnya sesuatu kegiatan pemerintah diperlukan rangkaian standar evaluasi due dilligence yang prudential level teruji atau prateknya professional conduct, sebagaimana pola yang di anut oleh LPSE selama ini.
Cara “subsidi kegagalan” ini sudah menjadi salah satu mode saat ini, bukan hanya masalah tender lelang saja yang berkembang, tetapi juga pola sejak awal perencanaan pengadaan barang / jasa pemerintah itu sudah menjadi satu kesatuan paket tunggal utuh yang harus dikelola oleh para pemimpin yang baik benar, untuk menjadikan fungsi khususnya dipemerintahan itu bekerja dengan maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Maka bolehlah saya ajukan salah satu caranya gratifikasi yang baik benar:
Mari kita budayakan memberi hadiah kepada orang yang layak menerimanya dengan cara membukanya kepada publik. Sehingga orang yang bekerja baik benar tidak hanya menerima upahnya kelak setelah mati dan hidup di sorga belaka, tapi menjadi teladan nyata upahnya di dunia fana ini sampai tiba di sorga kelak.
Wacana tulisan ini revolusi mental merubah hal negatif jadi positip.
Salam Hormat kepada seluruh pejuang tulen LPSE plus Unit Layanan Pengadaan ULP se Indonesia.