Bahasa Inggris gratification kata benda artinya materi yang dianggap memberi kepuasan, kegembiraan.
Basis Tulisan ini saya buat untuk sebuah renungan berdasarkan kemampuan personal terbatas memahami sebagian ayat kitab agama yang saya anut, tidak ada niat menganulir atau mengurangi nilai substansi bila ada hal yang setara dalam kitab lainnya. Lingkup tulisan adalah keterpautan dengan tugas pokok dan fungsi pemerintahan melakukan palayanan publik, terutama dalam hal prosedur parsial dalam prosedur proses pengadaan barang / jasa yang berlaku saat ini.
Sejak menjadi "kelinci percobaan" pemerintah RI via Kepala LKPP Bapak Roestam Sjarif / Bapak Sekretaris Utama Agus Rahardjo (sekarang Ketua KPK Komisi Pemberantasan Korupsi) dan kawan- kawan yang saat ini sebagian masih bekerja di LKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah (Kepala LKPP saat ini Bapak Agus Prabowo), dimana saat itu sejak lama merancang dan mulai pertama kali menerapkan tender elektronik nasional tahun 2007 yang kemudian di kenal dengan LPSE Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Hasil LKPP sampai saat ini membuat catatan sisa tender serupa uang yang amat besar nominalnya. Salah satu tujuannya LPSE memberantas "gratifikasi" ini.
Namun nampaknya hal ini juga barangkali kata gratifikasi ini "halal ?" bagi orang kerja baik benar. Karena gratifikasi menjadi kental opini publik dianggap pasti sebuah dosa, maka para pendosa saja yang mendapat untung darinya dengan melakukanya secara sembunyi. Dalam kondisi ini, maka orang baik benar hadiah upahnya cuma kelak masuk sorga setelah is dead.
Untuk memahami tulisan ini disarankan di baca satu kesatuan tuntas.
Matius 2:11 Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.
Gratifikasi dianggap senjata ampuh si pelaku mendewakan hadiah untuk sukses tujuannya.
Amsal 17:8 Hadiah suapan adalah seperti mestika di mata yang memberinya, ke mana juga ia memalingkan muka, ia beruntung.
Hadiah untuk melawan hukum.
Amsal 17:23 Orang fasik menerima hadiah suapan dari pundi-pundi untuk membelokkan jalan hukum.
Hadiah dipakai untuk mendapatkan status sosial.
Amsal 18:16 Hadiah memberi keluasan kepada orang, membawa dia menghadap orang-orang besar.
Hadiah diberikan dengan bijak.
Amsal 21:14 Pemberian dengan sembunyi-sembunyi memadamkan marah, dan hadiah yang dirahasiakan meredakan kegeraman yang hebat.
Pemerasan terhadap pihak lemah adalah kejahatan yang merugikan diri pelaku. Orang kaya tak butuh hadiah materi.
Amsal 22:16 Orang yang menindas orang lemah untuk menguntungkan diri atau memberi hadiah kepada orang kaya, hanya merugikan diri saja.
Bahwa tanpa memberi hadiah tujuan manusia dapat dicapai.
Amsal 25:15 Dengan kesabaran seorang penguasa dapat diyakinkan dan lidah lembut mematahkan tulang.
Ayat Alkitab kenapa Tuhan Yesus menerima gratifikasi dari orang Majus. Moral dari ayat itu?
Kajian Historis Minor Gratifikasi.
Orang Majus melapor kepada Penguasa niatnya memberi gratifikasi. Matius 2:1, 11 Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem. Matius 2:2 dan bertanya-tanya: "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia."
Matius 2:3-4 Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem. Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan.
Matius 2:11 Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.
Kajian rangkaian ayat tersebut menyatakan keterbukaan pemberi kepada publik. Publik dapat tahu tak ada niat lain dalam relasi koneksitas pemberian hadiah.
Ayat-ayat tersebut di atas merangkai pesan dari masa lalu ke masa kini dan ruang teologi yang memberikan pedoman bahwa aspek gratifikasi seyogyanya bukan suatu hal yang kabur. Bahkan sejak masa lalu cara menerima gratifikasi legal dilakukan di depan publik terbuka bagi semua pihak. Kiat pemberian hadiah seperti hadiah kuis legal atau door prize yang diumumkan dengan limit kriteria sifat publiknya minimal terpenuhi segera tersiar sesuai media publik tradisional pun modern yang terbuka bagi ke pihak manusia lain jelas dan tuntas.
Hadiah yang diberi diam-diam menjadi subsidi kegagalan bagi penerimanya. Memberi hadiah kepada orang yang terbukti sukses melakukan sesuatu sudah lumrah. Namun banyak contoh sat ini banyak terlihat nyata bahwa pemanfaatan “kegagalan” juga menjadi faktor kunci orang mendapatkan subsidi / insentif.
Misalnya karena gagal membuat jalan yang berkualitas tinggi meski biayanya memadai, maka seseorang yang menanggungjawab kegiatan itu membuat laporan kepada pimpinan bahwa target kegiatan tersebut belum tercapai karena kekurangan “biaya” yang di buat berdasarkan data dan analisis yang subyektif. Pimpinan yang merasa anak buahnya itu “kompeten”, langsung merespon dengan saran dan keputusan segera menyusun langkah selanjutnya, menambah biaya kegiatan tersebut pada tahap berikutnya. Padahal bila di kaji secara obyektif, tanpa “gratifikasi” atau sejenisnya, akan dapat diketahui bahwa “laporan kegagalan” itu memang dipersiapkan matang untuk memperoleh “subsidi kegagalan” berupa tambahan uang nominal agar menjadi bonus hadiah terselubung melalui penambahan kegiatan tahapan berikutnya yang seyogyanya sudah selesai atau tak perlu ada tahapan apa pun lagi. Jadi untuk menilai baik benarnya sesuatu kegiatan pemerintah diperlukan rangkaian standar evaluasi due dilligence yang prudential level teruji atau prateknya professional conduct, sebagaimana pola yang di anut oleh LPSE selama ini.
Cara “subsidi kegagalan” ini sudah menjadi salah satu mode saat ini, bukan hanya masalah tender lelang saja yang berkembang, tetapi juga pola sejak awal perencanaan pengadaan barang / jasa pemerintah itu sudah menjadi satu kesatuan paket tunggal utuh yang harus dikelola oleh para pemimpin yang baik benar, untuk menjadikan fungsi khususnya dipemerintahan itu bekerja dengan maksimal bagi kesejahteraan rakyat.
Maka bolehlah saya ajukan salah satu caranya gratifikasi yang baik benar:
Mari kita budayakan memberi hadiah kepada orang yang layak menerimanya dengan cara membukanya kepada publik. Sehingga orang yang bekerja baik benar tidak hanya menerima upahnya kelak setelah mati dan hidup di sorga belaka, tapi menjadi teladan nyata upahnya di dunia fana ini sampai tiba di sorga kelak.
Wacana tulisan ini revolusi mental merubah hal negatif jadi positip.
Salam Hormat kepada seluruh pejuang tulen LPSE plus Unit Layanan Pengadaan ULP se Indonesia.
Selamat menjelang Hari Raya Idul Fitri 1437 H Mohon Ma’af Lahir & Bathin.
Palangka Raya, 01 Juli 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H