Mohon tunggu...
Hery Santoso
Hery Santoso Mohon Tunggu...

Suka membaca, berdiskusi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Perang" Jokowers vs Haters?

3 Februari 2016   07:56 Diperbarui: 3 Februari 2016   08:02 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena Apa ini?

Pagi-pagi, seperti biasanya, saya “sarapan” berita pakai gadget. Terpampang berita dari salah satu web berjudul: “Iwan Fals Pukul Telak Barisan Pembenci Jokowi, Kenapa?” Apakah Iwan Fals benar-benar mengatakan demikian? Entahlah…

Tak lama kemudian muncul berita lainnya dari web yang berbeda: “Surat Arifin Ilham untuk Presiden Jokowi Tercinta”. Isinya mengingatkan Jokowi yang dianggap “salah jalan”. Benarkah Arifin Ilham yang menulis surat? Hanya Arifin Ilham dan Tuhan yang tahu.

Sebelum-sebelumnya, lebih banyak lagi statement-statement yang lebih menyengat dan cenderung konfrontatif, baik dari “kaum Jokowers” maupun dari “kaum Haters”, dan kalau ditulis di artikel ini, bisa berlembar-lembar.

Jika Anda search di Google, dan mengetik dua kata: “Jokowi” dan “tidak”, maka segera keluar kata-kata: Jokowi tidak becus, Jokowi tidak disambut, Jokowi tidak bisa berbahasa inggris, Jokowi tidak tahu apa-apa, Jokowi tidak bisa sholat, dst. Ada juga yang tidak mendiskreditkan sih…, misalnya keluar kata-kata: Jokowi tidak jadi ke bandung. Sebaliknya, jika Anda mengetik kata-kata: “Jokowi” dan “memang”, maka segera muncul kata-kata: Jokowi memang fenomenal, Jokowi memang top, Jokowi memang luar biasa, Jokowi memang merakyat, Jokowi memang berbeda, Jokowi memang oke, Jokowi memang sakti. Walaupun tidak semuanya bernada memuji, karena ada juga keluar kata-kata: Jokowi memang bodoh.

Intinya adalah, diakui atau tidak, tampak ada dua kubu yang saling menyerang dan saling mempertahankan: pertama kubu yang mendukung Jokowi, dan kedua adalah kubu yang menolak Jokowi. Saya pikir, dua kubu ini sudah selesai, sudah bubar sejak Jokowi dilantik jadi Presiden pada tanggal 20 Oktober 20014, eh, ternyata perseteruan semakin membara. Apakah karena relawan tidak bubar? (karena permintaan Jokowi seperti dalam Tribunnews.com dan VIVA.co.id: “Jokowi Minta Relawan Tidak Bubar”); sehingga ‘relawan anti Jokowi” juga tidak mau membubarkan diri, dengan alasan sebagai penyeimbang?

Fenomena apa ini? Gejala apa ini? Ada apa sebenarnya di masyarakat kita?

Saya penasaran. Saya coba telusuri presiden-presiden sebelumnya, apakah mereka mengalami “nasib” yang sama seperti Jokowi? Tetapi nampaknya tidak ada fenomena “dua kubu” seperti di masa pemerintahan Jokowi saat ini. Pada era SBY, Mega, Gus Dur, dan Habibie sekalipun, masih “standar”. Paling-paling muncul kritikus, kritikus khusus SBY, kritikus khusus Mega, kritikus khusus Gus Dur, kritikus khusus Habibie. Saya sebut kritikus khusus karena yang mengkritik sosok presiden orangnya ya itu-itu saja. Dulu, zaman Orba, dikenal dengan kelompok “Barisan Sakit Hati”. Siapa komandannya? Anda bisa search sendiri di Google. Nampaknya di masa pemerintahan Jokowi istilah ini terpakai lagi.

Jokowers, Haters, Menjonru, … apa lagi ya?

Kembali ke masalah “dua kubu”, ternyata fenomena ini melahirkan istilah-istilah baru, yaitu: Jokowers, Haters, Menjonru, dan masih dimungkinkan lahir istilah-istilah baru lainnya (kalau memang “perang” belum usai).

Sengaja saya angkat (dan saya pakai) istilah-istilah ini karena popular di masyarakat, terutama masyarakat di dunia maya atau netizen, sudah tidak asing lagi dengan istilah-istilah ini.

Jokowers, istilah ini muncul untuk menyebut masyarakat atau netizen yang pro Jokowi. Istilah itu dimunculkan oleh siapa, saya tidak tahu pasti. Ada yang mengatakan bahwa Jokowers ada 3 tingkatannya, atau tepatnya 3 karakter, yaitu Jokowers total, Jokowers moderat, dan Jokowers diam. Jokowers total adalah siapa saja yang membela (kebijakan) Jokowi, tidak peduli apakah kebijakannya benar atau salah. Jokowers moderat adalah siapa saja yang membenarkan atau mendukung (kebijakan) Jokowi, selama itu benar. Tetapi kalau kebijakannya salah ya dikritisi. Terakhir, Jokowers diam adalah siapa saja yang dulu membela mati-matian Jokowi, kini diam karena tahu bahwa kebijakannya dianggap salah. Atau siapa saja yang masih menyisakan prasangka baik terhadap langkah-langkah Jokowi yang dirasa menyimpang atau tidak berpihak kepada rakyat. Biasanya yang masuk golongan ketiga ini mengatakan (minimal dalam hatinya sendiri): “Ini adalah bagian dari strategi Jokowi”, atau “Jokowi tidak sebodoh itu”.

Haters, makna leksikalnya adalah para pembenci. Istilah ini muncul untuk menyebut masyarakat atau netizen yang anti Jokowi, atau pembenci Jokowi. Kadang-kadang, orang tidak bisa membedakan antara Haters dengan kritikus. Bagi kritikus Jokowi, mau tidak mau, suka tidak suka dia kerap kali digolongkan dalam komunitas Haters oleh Jokowers. Apa bedanya antara Haters dengan kritikus, saya kira Anda lebih tahu dari saya. Selanjutnya, jika Anda ingin mengetahui lebih jauh siapa-siapa saja Haters dan siapa-siapa saja kritikus Jokowi ini Anda bisa search sendiri di Google.

Di mata Haters, setiap kebijakan Pemerintah, selalu salah! Apalagi kalau jelas-jelas salah. Wah, jadi santapan empuk untuk “dikunyah”. Kalaupun dianggap benar, Haters enggan memuji, bahkan mungkin diharamkan untuk dipuji. Tol Laut??? Apa’an tuh Tol Laut??? Kebakaran hutan, … Jokowi ke lapangan, pencitraan. Kereta cepat??? Haddeeh…!! Cape’ deehh…. Harga BBM turun, …hening. Rupiah tersungkur, Jokowi dihujat. Rupiah menguat, …tak ada suara. Tarif listrik turun, … suara Haters nyaris tak terdengar. Tenaga kerja Tiongkok menyerbu Indonesia, makanan empuk bagi Haters.

Di antara para Haters, atau kritikus (?) ada sesosok fenomenal yaitu Jonru. Konon katanya istilah Jokowers ini dimunculkan oleh Jonru (wallahu ‘a-lam bishshawab?). Jonru adalah nama singkatan. Nama panjangnya adalah Jon Riah Ukur; lahir di Kabanjahe 7 Desember 1970. Dulu, dia sudah dikenal di dunia Blogger, dulu dia adalah sosok inspiratif bagi para Blogger. Makanya, pada tahun 2009, dia saya undang sebagai pembicara. Waktu itu, di dunia maya, dia lebih dikenal sebagai Blogger yang sukses melalui “Bimbingan Menjadi Penulis” di Blognya. Stylenya kalem, bicaranya tidak meledak-ledak, dan jauh dari kesan agitatif ataupun provokatif. Katanya di forum, dia eksis sebagai Blogger karena total dalam mengelola Blognya. Dan berkat Blognya itu, dia sudah bisa hidup dan menghidupi keluarganya. Dan kini, setelah 7 tahun saya tidak bertemu lagi ataupun berkomunikasi dengannya, nama Jonru lebih popular dipakai dengan istilah “menjonru”. Menjonru memiliki makna pejorative. Para Haters yang tulisannya “miring” tentang Jokowi disebut oleh Jokowers sebagai “menjonru”. Mungkin karena tulisan-tulisan Jonru di dunia maya dianggap selalu “miring” terhadap Jokowi dan bertubi-tubi sehingga istilah “menjonru” digunakan untuk tulisan-tulisan Haters. Kini Jonru seolah-olah menjadi icon bagi para Haters.

Mengapa ada Jokowers dan Haters?

Untuk menjawab ini saya mencoba menelusuri teori fanatisme. Dalam suatu teori disebutkan bahwa pengertian fanatisme ada dua: pertama adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, baik yang positif atau yang negatif. Pengertian kedua adalah pandangan yang tidak memiliki rasionalitas atau dasar pijakan faktual, tetapi dianut secara kuat dan mendalam sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu.

Seseorang yang fanatik dalam pengertian yang kedua ini biasanya tidak mampu memahami sesuatu yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Efek dari fanatisme adalah munculnya perilaku yang tidak terkontrol atau agresif apabila keyakinan atau pandangannya tersebut digugat atau ditentang.

Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok. Fanatisme selalu ada di setiap lapisan masyarakat, di negara terbelakang maupun di negara maju sekalipun, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?

Ada beberapa teori untuk menjawab pertanyaan itu.

Pertama; sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di mana pun dapat dijumpai individu atau kelompok yang memiliki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme muncul sebagai konsekwensi logis dari kemajemukan sosial atau heterogenitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului oleh perjumpaan dua kelompok sosial. Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan "in group" dan "out group". Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda faham. Ketidaksukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan oleh adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).

Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik - dalam arti cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai - dapat dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.

Kedua: dikatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit, agama, atau status sosial. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan di sembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.

Ketiga: disebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang dimaksud oleh Sigmund Freud ketika ia menyebut instink Eros (ingin tetap hidup/eksis) dan instink Tanatos (siap mati).

Keempat: dijelaskan bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agresi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ekstrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Dulu, zaman Orde Baru, ketika kelompok Islam dipinggirkan secara politik terutama pada masa kelompok elit Kristen Katolik (Beni Murdani, Sudomo, Radius Prawiro, Andrianus Moy, Sumarlin, Hutahuruk, Jendral Pangabean) secara efektif mengontrol pembangunan Indonesia, maka banyak kelompok Islam merasa terancam, dan mereka menjadi fanatik. Ketika menjelang akhir Orde Baru di mana kelompok Kristen Katolik mulai tersingkirkan sehingga kabinet dan parlemen disebut “kabinet ijo royo-royo (banyak orang Islamnya)”, giliran orang Kristen yang merasa terancam, dan kemudian menjadi ekstrim, agresif dan destruktif seperti yang terjadi di Kupang, Ambon, Poso, dan juga Kalteng, dan juga secara tersembunyi di Jakarta. Jalan pikiran orang fanatik bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agresif.

Jika keempat teori di atas mensyaratkan kedua kubu harus mempunyai sesuatu yang “difanatiki”, misalnya warna kulit sebagai basis fanatik, atau agama, atau jenis aliran musik, dll maka, untuk kasus Jokowers vs Haters ini agak berbeda. Jokowers sudah jelas fanatik Jokowi, tetapi Haters, belum tentu fanatik Prabowo, atau siapa. Ini yang mungkin bisa menjelaskan mengapa Jokowers cenderung defensive (membela Jokowi) dan Haters cenderung ofensif (menyerang Jokowi) karena sudah jelas obyeknya. Jokowers mau menyerang Haters? Siapa yang mau diserang? Obyeknya nggak jelas. Makanya disebut Haters; pembenci, pembenci Jokowi. Kalau Haters punya tokoh, Prabowo misalnya, sehingga nanti bisa disebut sebagai Prabowers, bukan tidak mungkin Jokowers akan menyerang Prabowers. Tetapi ini tidak pernah terjadi, atau jarang terjadi.

Dulu, zaman Orde Baru, ada istilah ABS, bukan Asal Bapak Senang, tetapi singkatan dari Asal Bukan Suharto. Katakanlah Haters tidak punya tokoh idola, atau tokoh yang difanatiki, dan mereka mencanangkan Asal Bukan Jokowi atau ABJ. Atau Tidak Harus Prabowo atau THP. Tetapi tetap saja Jokowers tidak bisa “menyerang balik”. Lagi-lagi karena tidak ada obyek yang jelas untuk diserang.

Tetapi nampaknya sekarang mulai muncul (atau dimunculkan?) tokoh yang (mungkin) bisa menyaingi Jokowi. Dimunculkan kembali dikotomi antara sipil dengan militer. Beberapa artikel media online ada yang memasang judul: “Rindu Kepemimpinan Militer”. Jika isu ini berlanjut, berarti salah satu dari keempat teori di atas bisa dipakai, karena ada obyek yang difanatiki, yaitu sipil atau militer. Siapa tokoh militer itu, silahkan di-search sendiri di Google.

Lantas, teori yang mana yang bisa menjelaskan fenomena Jokowers dan Haters itu, saya yakin Anda lebih mengerti daripada saya. Mungkin juga ada teori lain selain yang di atas yang lebih masuk akal untuk menjelaskannya.

Apa Solusinya?

Menurut saya, fenomena Jokowers vs Haters di dunia maya sudah pada titik “membosankan” sekaligus pekerjaan yang sia-sia. Saya jadi su’udhon, jangan-jangan keberadaan Jokowers dan Haters memang sengaja didesain atau bagian dari strategi “tangan-tangan jahil” yang tidak menginginkan bangsa Indonesia ini “cerdas” dan “sensitif” dari upaya asing untuk merobek-robek “kebhinneka tunggal ika’an” kita. Boleh jadi mereka sudah mengumpulkan berjuta-juta meter kubik “kayu bakar” untuk dijual (atau bahkan dikasihkan, gratis!), baik kepada Jokowers maupun kepada Haters. Sementara itu,  mereka juga ada yang menyusup ke kedua kubu tersebut sambil membawa “kipas” untuk membarakan kayu-kayu yang sudah mulai memerah. Mungkin asapnya baru pada taraf dunia maya, tetapi jika ini dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin bara itu akan menjalar menjadi konflik sosial di dunia nyata.

Sudah menipis energi kita, janganlah dihabiskan lagi energi yang tersisa ini dengan kegiatan saling mencibir, saling menghina, saling menghujat, dan saling memfitnah. Mungkin sebagian orang menganggap ini adalah bagian dari control and balances, kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Dulu, zaman Orde Baru, ada istilah Demokrasi Pancasila, maksudnya adalah “bebas berpendapat” tapi “harus bertanggung jawab”. Sayangnya, harus bertanggung jawab di masa itu diterjemahkan menjadi “harus masuk bui” bagi pendapat yang berbeda dengan pemerintah. Kita tentunya tidak menginginkan hal itu terulang kembali. Mari kita terjemahkan “harus bertanggung jawab” itu dengan argumentasi yang berdasar, yang logis, yang faktual, yang konkrit, yang bukan asal “njeplak”, alias “asbun” (asal bunyi), hanya untuk memuaskan hawa nafsu.

Mendiamkan saja atau mengaminkan saja terhadap semua yang dilakukan Jokowi juga tidak baik, sama saja dengan menjerumuskan orang “ke jalan yang sesat”. Ingat pepatah, sahabat yang baik adalah orang yang mau mengingatkan ketika temannya salah. Sedangkan sahabat yang buruk sebaliknya.

Semakin tinggi pohon, semakin keras terpaan anginnya. Semakin tinggi jabatan harus semakin siap menerima kritikan, cibiran, cemoohan, dan bahkan fitnahan. Namun yang perlu diingat adalah bahwa kita sudah sepakat dan mau mentaati konsensus yang kita buat sendiri. Mari kita tunjukkan kepada dunia, kepada bangsa-bangsa lain bahwa kita bukan bangsa yang tidak beradab. Semoga fenomena Jokower vs Haters ini tidak berlarut-larut sampai akhir kepemimpinan Jokowi maupun kepemimpinan siapapun juga. Mari kita hemat energi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun