Kedua: dikatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit, agama, atau status sosial. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan di sembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.
Ketiga: disebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang dimaksud oleh Sigmund Freud ketika ia menyebut instink Eros (ingin tetap hidup/eksis) dan instink Tanatos (siap mati).
Keempat: dijelaskan bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agresi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ekstrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Dulu, zaman Orde Baru, ketika kelompok Islam dipinggirkan secara politik terutama pada masa kelompok elit Kristen Katolik (Beni Murdani, Sudomo, Radius Prawiro, Andrianus Moy, Sumarlin, Hutahuruk, Jendral Pangabean) secara efektif mengontrol pembangunan Indonesia, maka banyak kelompok Islam merasa terancam, dan mereka menjadi fanatik. Ketika menjelang akhir Orde Baru di mana kelompok Kristen Katolik mulai tersingkirkan sehingga kabinet dan parlemen disebut “kabinet ijo royo-royo (banyak orang Islamnya)”, giliran orang Kristen yang merasa terancam, dan kemudian menjadi ekstrim, agresif dan destruktif seperti yang terjadi di Kupang, Ambon, Poso, dan juga Kalteng, dan juga secara tersembunyi di Jakarta. Jalan pikiran orang fanatik bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agresif.
Jika keempat teori di atas mensyaratkan kedua kubu harus mempunyai sesuatu yang “difanatiki”, misalnya warna kulit sebagai basis fanatik, atau agama, atau jenis aliran musik, dll maka, untuk kasus Jokowers vs Haters ini agak berbeda. Jokowers sudah jelas fanatik Jokowi, tetapi Haters, belum tentu fanatik Prabowo, atau siapa. Ini yang mungkin bisa menjelaskan mengapa Jokowers cenderung defensive (membela Jokowi) dan Haters cenderung ofensif (menyerang Jokowi) karena sudah jelas obyeknya. Jokowers mau menyerang Haters? Siapa yang mau diserang? Obyeknya nggak jelas. Makanya disebut Haters; pembenci, pembenci Jokowi. Kalau Haters punya tokoh, Prabowo misalnya, sehingga nanti bisa disebut sebagai Prabowers, bukan tidak mungkin Jokowers akan menyerang Prabowers. Tetapi ini tidak pernah terjadi, atau jarang terjadi.
Dulu, zaman Orde Baru, ada istilah ABS, bukan Asal Bapak Senang, tetapi singkatan dari Asal Bukan Suharto. Katakanlah Haters tidak punya tokoh idola, atau tokoh yang difanatiki, dan mereka mencanangkan Asal Bukan Jokowi atau ABJ. Atau Tidak Harus Prabowo atau THP. Tetapi tetap saja Jokowers tidak bisa “menyerang balik”. Lagi-lagi karena tidak ada obyek yang jelas untuk diserang.
Tetapi nampaknya sekarang mulai muncul (atau dimunculkan?) tokoh yang (mungkin) bisa menyaingi Jokowi. Dimunculkan kembali dikotomi antara sipil dengan militer. Beberapa artikel media online ada yang memasang judul: “Rindu Kepemimpinan Militer”. Jika isu ini berlanjut, berarti salah satu dari keempat teori di atas bisa dipakai, karena ada obyek yang difanatiki, yaitu sipil atau militer. Siapa tokoh militer itu, silahkan di-search sendiri di Google.
Lantas, teori yang mana yang bisa menjelaskan fenomena Jokowers dan Haters itu, saya yakin Anda lebih mengerti daripada saya. Mungkin juga ada teori lain selain yang di atas yang lebih masuk akal untuk menjelaskannya.
Apa Solusinya?
Menurut saya, fenomena Jokowers vs Haters di dunia maya sudah pada titik “membosankan” sekaligus pekerjaan yang sia-sia. Saya jadi su’udhon, jangan-jangan keberadaan Jokowers dan Haters memang sengaja didesain atau bagian dari strategi “tangan-tangan jahil” yang tidak menginginkan bangsa Indonesia ini “cerdas” dan “sensitif” dari upaya asing untuk merobek-robek “kebhinneka tunggal ika’an” kita. Boleh jadi mereka sudah mengumpulkan berjuta-juta meter kubik “kayu bakar” untuk dijual (atau bahkan dikasihkan, gratis!), baik kepada Jokowers maupun kepada Haters. Sementara itu, mereka juga ada yang menyusup ke kedua kubu tersebut sambil membawa “kipas” untuk membarakan kayu-kayu yang sudah mulai memerah. Mungkin asapnya baru pada taraf dunia maya, tetapi jika ini dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin bara itu akan menjalar menjadi konflik sosial di dunia nyata.
Sudah menipis energi kita, janganlah dihabiskan lagi energi yang tersisa ini dengan kegiatan saling mencibir, saling menghina, saling menghujat, dan saling memfitnah. Mungkin sebagian orang menganggap ini adalah bagian dari control and balances, kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Dulu, zaman Orde Baru, ada istilah Demokrasi Pancasila, maksudnya adalah “bebas berpendapat” tapi “harus bertanggung jawab”. Sayangnya, harus bertanggung jawab di masa itu diterjemahkan menjadi “harus masuk bui” bagi pendapat yang berbeda dengan pemerintah. Kita tentunya tidak menginginkan hal itu terulang kembali. Mari kita terjemahkan “harus bertanggung jawab” itu dengan argumentasi yang berdasar, yang logis, yang faktual, yang konkrit, yang bukan asal “njeplak”, alias “asbun” (asal bunyi), hanya untuk memuaskan hawa nafsu.
Mendiamkan saja atau mengaminkan saja terhadap semua yang dilakukan Jokowi juga tidak baik, sama saja dengan menjerumuskan orang “ke jalan yang sesat”. Ingat pepatah, sahabat yang baik adalah orang yang mau mengingatkan ketika temannya salah. Sedangkan sahabat yang buruk sebaliknya.