Jokowers, istilah ini muncul untuk menyebut masyarakat atau netizen yang pro Jokowi. Istilah itu dimunculkan oleh siapa, saya tidak tahu pasti. Ada yang mengatakan bahwa Jokowers ada 3 tingkatannya, atau tepatnya 3 karakter, yaitu Jokowers total, Jokowers moderat, dan Jokowers diam. Jokowers total adalah siapa saja yang membela (kebijakan) Jokowi, tidak peduli apakah kebijakannya benar atau salah. Jokowers moderat adalah siapa saja yang membenarkan atau mendukung (kebijakan) Jokowi, selama itu benar. Tetapi kalau kebijakannya salah ya dikritisi. Terakhir, Jokowers diam adalah siapa saja yang dulu membela mati-matian Jokowi, kini diam karena tahu bahwa kebijakannya dianggap salah. Atau siapa saja yang masih menyisakan prasangka baik terhadap langkah-langkah Jokowi yang dirasa menyimpang atau tidak berpihak kepada rakyat. Biasanya yang masuk golongan ketiga ini mengatakan (minimal dalam hatinya sendiri): “Ini adalah bagian dari strategi Jokowi”, atau “Jokowi tidak sebodoh itu”.
Haters, makna leksikalnya adalah para pembenci. Istilah ini muncul untuk menyebut masyarakat atau netizen yang anti Jokowi, atau pembenci Jokowi. Kadang-kadang, orang tidak bisa membedakan antara Haters dengan kritikus. Bagi kritikus Jokowi, mau tidak mau, suka tidak suka dia kerap kali digolongkan dalam komunitas Haters oleh Jokowers. Apa bedanya antara Haters dengan kritikus, saya kira Anda lebih tahu dari saya. Selanjutnya, jika Anda ingin mengetahui lebih jauh siapa-siapa saja Haters dan siapa-siapa saja kritikus Jokowi ini Anda bisa search sendiri di Google.
Di mata Haters, setiap kebijakan Pemerintah, selalu salah! Apalagi kalau jelas-jelas salah. Wah, jadi santapan empuk untuk “dikunyah”. Kalaupun dianggap benar, Haters enggan memuji, bahkan mungkin diharamkan untuk dipuji. Tol Laut??? Apa’an tuh Tol Laut??? Kebakaran hutan, … Jokowi ke lapangan, pencitraan. Kereta cepat??? Haddeeh…!! Cape’ deehh…. Harga BBM turun, …hening. Rupiah tersungkur, Jokowi dihujat. Rupiah menguat, …tak ada suara. Tarif listrik turun, … suara Haters nyaris tak terdengar. Tenaga kerja Tiongkok menyerbu Indonesia, makanan empuk bagi Haters.
Di antara para Haters, atau kritikus (?) ada sesosok fenomenal yaitu Jonru. Konon katanya istilah Jokowers ini dimunculkan oleh Jonru (wallahu ‘a-lam bishshawab?). Jonru adalah nama singkatan. Nama panjangnya adalah Jon Riah Ukur; lahir di Kabanjahe 7 Desember 1970. Dulu, dia sudah dikenal di dunia Blogger, dulu dia adalah sosok inspiratif bagi para Blogger. Makanya, pada tahun 2009, dia saya undang sebagai pembicara. Waktu itu, di dunia maya, dia lebih dikenal sebagai Blogger yang sukses melalui “Bimbingan Menjadi Penulis” di Blognya. Stylenya kalem, bicaranya tidak meledak-ledak, dan jauh dari kesan agitatif ataupun provokatif. Katanya di forum, dia eksis sebagai Blogger karena total dalam mengelola Blognya. Dan berkat Blognya itu, dia sudah bisa hidup dan menghidupi keluarganya. Dan kini, setelah 7 tahun saya tidak bertemu lagi ataupun berkomunikasi dengannya, nama Jonru lebih popular dipakai dengan istilah “menjonru”. Menjonru memiliki makna pejorative. Para Haters yang tulisannya “miring” tentang Jokowi disebut oleh Jokowers sebagai “menjonru”. Mungkin karena tulisan-tulisan Jonru di dunia maya dianggap selalu “miring” terhadap Jokowi dan bertubi-tubi sehingga istilah “menjonru” digunakan untuk tulisan-tulisan Haters. Kini Jonru seolah-olah menjadi icon bagi para Haters.
Mengapa ada Jokowers dan Haters?
Untuk menjawab ini saya mencoba menelusuri teori fanatisme. Dalam suatu teori disebutkan bahwa pengertian fanatisme ada dua: pertama adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, baik yang positif atau yang negatif. Pengertian kedua adalah pandangan yang tidak memiliki rasionalitas atau dasar pijakan faktual, tetapi dianut secara kuat dan mendalam sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu.
Seseorang yang fanatik dalam pengertian yang kedua ini biasanya tidak mampu memahami sesuatu yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Efek dari fanatisme adalah munculnya perilaku yang tidak terkontrol atau agresif apabila keyakinan atau pandangannya tersebut digugat atau ditentang.
Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok. Fanatisme selalu ada di setiap lapisan masyarakat, di negara terbelakang maupun di negara maju sekalipun, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?
Ada beberapa teori untuk menjawab pertanyaan itu.
Pertama; sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di mana pun dapat dijumpai individu atau kelompok yang memiliki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme muncul sebagai konsekwensi logis dari kemajemukan sosial atau heterogenitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului oleh perjumpaan dua kelompok sosial. Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan "in group" dan "out group". Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda faham. Ketidaksukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan oleh adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).
Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik - dalam arti cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai - dapat dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.