Akhir-akhir ini, saya dan Anda yang memiliki buah hati tercinta, sedang difokuskan pada proses mendidik anak melalui belajar di rumah atau belajar dari rumah (BDR). Itu terjadi karena mengamuknya virus corona yang juga memaksa anak mengubah kebiasaan belajar. Aktivitas menuntut ilmu yang biasanya dilakukan di sekolah maka hari-hari terakhir ini harus dijalankan di rumah.
Belajar di sekolah maupun belajar di rumah tujuannya tentu sama, yakni membuat anak pintar atau cerdas. Bukankah tujuan belajar itu untuk menghindarkan anak dari kebodohan, seperti kata pepatah, "Rajin pangkal pandai." Jika tidak rajin belajar tentu anak-anak tidak pandai, tidak banyak ilmunya.
Di sela-sela aktivitas mendampingi anak BDR itu, saya pun sejenak merenung. Apakah pintar saja sudah cukup? Jawabannya tentu saja mudah, yaitu belum cukup. Masih banyak hal yang perlu dibenamkan ke dalam diri anak dan sangat berguna di masa depannya kelak. Apa saja itu?
1. Â Iman
Banyak buku pelajaran yang dikonsumsi anak-anak mengingatkan dalam kata pengantar maupun pendahuluannya, agar siswa berdoa sebelum beraktivitas. Awali dengan doa baru mengerjakan soal-soal atau membaca materi pelajaran.Â
Dengan kata lain, anak diingatkan akan iman, percaya kepada Tuhan, yang sangat penting dalam proses menuntut ilmu. Itu juga yang pernah dikatakan Isaac Newton. Bapak Ilmu Fisika Klasik penemu Teori Gravitasi ini mengatakan, "Semakin saya mempelajari ilmu pengetahuan, semakin saya percaya pada Tuhan."
Dengan demikian, sudah seharusnya anak diingatkan pentingnya doa, ketenangan, dan kesabaran dalam menuntut ilmu. Di situlah iman bekerja, mewujud dalam tindakan, yakni aktivitas menuntut ilmu, meski harus dilakukan di rumah.Â
Isaac Newton, yang berjuluk pemikir besar semasa Revolusi Ilmiah di abad ke-17 ini juga mengatakan, "Saya tidak punya kebijaksanaan khusus, hanya kekuatan pikiran yang sabar. Kecerdasan adalah kesabaran."
2. Kebaikan
Menjadi baik atau menjadi lebih baik dari sebelumnya itu penting. Tidak hanya untuk orang dewasa, namun juga untuk anak-anak. Menjadi orang pintar, namun tidak mengenal kebaikan maka apalah artinya. Untuk itu, saya diingatkan untuk bisa menjadi teladan kebaikan bagi anak-anak agar mereka juga bertumbuh menjadi baik.
Benjamin Franklin, ilmuwan penemu penangkal petir, mengatakan, "Hal yang terbaik diberikan kepada anak Anda adalah teladan. Satu apel yang busuk bisa merusak sekeranjang apel." Jika saya tidak bisa menjadi teladan bagi anak-anak maka bagaimana mereka bisa mengenal kebaikan? Jika saya seperti apel yang busuk maka rusak jugalah jiwa anak-anak. Untuk itu, kebaikan perlu ditanamkan kepada anak, dan dimulai dari diri saya sendiri.
Ilmuwan, penulis, dan politikus asal Amerika Serikat ini juga mengatakan, "Berperanglah dengan kebiasaan buruk Anda, berdamailah dengan orang di sekitar Anda, dan biarkan setiap tahun yang baru menjadikan Anda manusia yang lebih baik."
3. Keuletan
Belajar dari rumah sering kali memaksa anak belajar dengan cara baru, misalnya lebih banyak mencari bahan bacaan dari internet atau mengungkapkan gagasan atau pendapat pribadi.Â
Anak saya juga sering kali harus menjawab soal-soal yang sulit tanpa bimbingan guru secara langsung, bahkan tidak bisa bertanya kepada guru karena proses belajar-mengajar secara daring yang belum sempurna. Di situlah saya menyadari bahwa anak perlu dibekali keuletan agar ia tidak mudah menyerah saat proses belajarnya mengalami kesulitan.
Louis Pasteur, ilmuwan asal Prancis, mengatakan, "Tahukah Anda rahasia sukses saya dalam mencapai tujuan? Hanya keuletan, tidak lebih dan tidak kurang." Selain keuletan, bekali juga anak dengan kemauan yang kuat untuk mendapatkan pengetahuan demi pengetahuan baru.Â
Ilmuwan penemu obat antraks, rabies, dan formula bernama pasteurisasi ini mengatakan, "Kemauan  adalah sesuatu yang penting, karena aksi kerja biasanya mengikuti kemauan. Dengan kemauan, kita membuka pintu ke arah kesuksesan."
4. Tidak mudah menyerah
Anak-anak akan mudah terpancing untuk mudah menyerah ketika menemukan soal-soal yang sulit. Jika kesulitannya ditemui saat ujian, misalnya, maka mudah terpancing untuk menyontek atau berbuat curang. Itu karena anak takut gagal sehingga mudah menyerah semasa studinya.
Saya mengingatkan anak untuk tidak menyontek, apa pun yang terjadi. Kebiasaan itu pun berhasil hingga sekarang. Anak saya berani mendapatkan nilai tidak memuaskan, sementara teman-temannya mendapatkan nilai yang lebih baik.Â
Awalnya berat bagi anak, tapi jika sudah terbiasa tidak menyontek maka ketika mendapatkan nilai buruk, hal itu menjadi pemicu untuk belajar lebih giat lagi. Dengan kata lain, tidak mudah menyerah bagi anak adalah hal yang penting.
Thomas Alva Edison, penemu lampu bohlam, mengatakan, "Saya belum gagal. Saya baru saja menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil. Jangan berkecil hati jika Anda gagal. Belajarlah darinya. Teruslah mencoba."
Apa yang dikatakan Thomas Alva Edison ini perlu diterapkan kepada anak-anak, agar mereka tidak berkecil hati jika gagal ujian, misalnya, atau belum berhasil mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.
Pemegang rekor dunia terbanyak atas lebih dari 1.000 hak paten ini juga mengingatkan, "Jika orang tua memberikan antusiasme pada anak-anaknya, mereka meninggalkan sebuah nilai yang tak terhitung."
5. Orang yang berguna
Pintar saja memang belum cukup, apalagi jika kepintaran itu digunakan untuk hal-hal yang buruk, misalnya korupsi, berbuat curang, mencelakakan orang lain, atau menebar kebencian.Â
Saya sangat menyadari hal itu maka sebisa mungkin anak-anak dididik untuk tidak sekadar pintar, namun bisa menjadi orang yang berguna. Berguna bagi dirinya dan bagi sesamanya. Menebar kebaikan, membantu teman yang kesulitan, atau kelak berguna untuk masyarakat dan bangsanya. Itu doa dan harapan saya untuk anak-anak yang saat ini masih dalam proses belajar di rumah.
Albert Einstein mengingatkan, "Cobalah untuk tidak menjadi orang sukses, tapi cobalah menjadi orang yang berguna." Penemu Teori Relativitas yang menjadi pilar utama fisika modern ini juga mengatakan, "Hidup ini seperti sepeda. Untuk tetap seimbang Anda harus terus bergerak."Â
Selaras dengan itu, sebagai orang tua saya diingatkan untuk terus bergerak menjaga keseimbangan antara kecerdasan dan banyak hal lain yang harus dimiliki anak-anak agar mereka menjadi orang yang berguna.
6. Berani menghadapi tantangan
Kemanjaan bagi anak-anak itu penting. Dengan kemanjaan itu anak bisa merasakan kasih sayang orang tuanya. Namun, bekali juga buah hati dengan kebiasaan untuk berani menghadapi tantangan.Â
Cara ini akan membuat anak tidak takut menghadapi ujian atau ikut dalam kompetisi lain selama studinya. Neil A. Amstrong mengatakan, "Saya kira pergi ke bulan karena dalam sifat manusia yang hendak menghadapi tantangan."
Astronot, pilot, dan profesor dari Amerika Serikat itu juga mengingatkan, "Ruang angkasa tidak berubah, tapi teknologi telah meningkat secara dramatis." Saat belajar di rumah, anak tidak bisa dilepaskan dari teknologi, khususnya gawai dan internet. Membiasakan anak dengan teknologi juga penting, meski terus diingatkan untuk bijak dalam pemanfaatannya.
Lebih penting lagi, Neil Amstrong mengatakan, "Tidak ada prestasi besar tanpa risiko besar." Namun, saya tetap mencoba untuk meminimalkan risiko besar itu agar anak-anak tetap bisa meraih prestasi besarnya dengan belajar yang rajin dibarengi dengan semangat untuk tidak mudah menyerah dan hal-hal baik lainnya.
7. Pintar beradaptasi
Perubahan bisa terjadi dengan tiba-tiba. Proses belajar dari rumah, misalnya, merupakan bentuk perubahan yang harus direspons dengan tepat oleh orang tua maupun anak. Ini secara tidak langsung mengingatkan saya untuk melatih anak beradaptasi terhadap perubahan.Â
Orang yang mudah beradaptasi akan mudah pula meraih kesuksesan. Di tempat kerja, misalnya, karyawan yang cepat beradaptasi dengan suasana kantor akan lebih cepat bekerja dengan baik. Anak pun, jika pintar beradaptasi dengan cara belajar yang baru, maka akan lebih cepat pula menyerap ilmu-ilmu baru.
Stephen W. Hawking mengatakan, "Kecerdasan adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan." Fisikawan teoretis dan kosmolog terkenal abad ke-21 ini juga mengungkapkan, "Orang yang membanggakan IQ adalah pecundang." Selaras dengan itu, sebagai orang tua saya diingatkan untuk tidak melulu fokus pada membuat anak pintar, tapi agar saya juga fokus untuk membangun karakter baik anak-anak.
Dengan demikian, ada makna dan tujuan ketika anak belajar menjadi pintar. Tidak sekadar pintar otak, namun juga memiliki kecerdasan lainnya, seperti yang sudah saya sebutkan di atas.Â
Stephen W. Hawking, yang terkenal dengan bukunya, A Brief History of Time, juga mengatakan, "Sekarang kita semua terhubung dengan internet, seperti neuron yang ada di otak raksasa."
Melalui jaringan internet itulah semoga saya juga bisa memanfaatkannya untuk mendidik anak supaya tidak hanya pintar, tapi juga memiliki keunggulan lainnya yang berguna, bermanfaat untuk banyak orang.
Salam inspirasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H