"Kompasiana adalah rumah bagi puisi-puisi saya. Menulis merupakan sebuah proses yang tak pernah berhenti. Semakin sering saya melakukannya, semoga semakin baik pula kemampuan dalam menuangkan ide. Konsistensi dalam menulis bukan hanya sekadar kebiasaan, tetapi juga sebuah komitmen untuk terus belajar dan berkembang."Â
Setidaknya kutipan di atas membuktikan kemauan keras Itha Abimanyu untuk tetap menulis dan setia  terhadap puisi.
Perempuan yang lahir di kota Sumedang, sejak kanak-kanak sudah tidak asing dengan dunia imajinasi. Ia selalu jatuh hati terhadap puisi. Bahkan dalam perkembangan usia selanjutnya, Â sering mengikuti lomba menulis (mencipta) puisi.
Mengaku, setiap kali membaca puisi merasa seperti diajak terbang ke dimensi lain. Dari sanalah benih kecintaan terhadap puisi mulai tumbuh dalam dirinya.
"Saya sudah terpesona oleh keindahan kata-kata, dunia sastra menjadi rumah bagi saya dan puisi adalah jendela jiwa saya," paparnya seperti tertulis dalam @temuonkompasiana.
Beberapa puisinya, antara lain "Kemarin, di Sela Rintik Hujan", Â "Tentang Nasib", "Menjadi Asing", "Di Pasar Malam", dan "Ketika Jemari Berjelaga" berhasil dialihmediakan menjadi musikalisasi puisi.Â
Bukan tanpa alasan jika puisinya bermetamorfosis menjadi lagu (dinyanyikan). Kenyataannya, dalam proses penciptaan puisi, ia selalu mempertimbangkan aspek musikalitas, rima, dan persajakan.
Pengakuan terhadap kualitas puisi Itha Abimanyu yang bukan merupakan karya kaleng-kaleng, dibuktikan dengan penerbitan antologi puisi tunggal Di Sela Nyanyian Hujan (Ujwart Media Publisher dan Penerbit Multisia Tenan Jaya, 2017) serta antologi serumpun puisi Suara Debu (Arashi Group, 2019).
Pencapaian dan pengakuan luar biasa didapatkan saat Kompasiana memberi penghargaan Best In Fiction Kompasiana Awards 2024Â atas karya puisinya.
 "Jujur saja, saya tidak pernah menyangka akan masuk nomine apalagi mendapatkan penghargaan sebesar itu. Kemenangan ini bukan hanya sekadar pengakuan, tetapi juga menjadi tanggung jawab besar untuk terus berkarya dan menginspirasi lebih banyak lagi pembaca," tulis perempuan yang tinggal di Sumedang, dan terlibat dalam berbagai kegiatan menulis.
Keberhasilannya mendapatkan gelar Best In Fiction Kompasiana Awards 2024 karena puisi-puisi Neng Itha (begitu saya selalu menyapa) dinilai penuh misteri,  terasing, dan menyendiri. Melalui puisinya, ia mengajak pembaca merenungkan  arti kehidupan, cinta, dan kehilangan.
"Ada nuansa gelap yang kerap ditawarkan Itha Abimanyu kepada pembacanya. Tetapi, dari sana justru semakin kita dapat keseruannya tiap menyelami puisi-puisi Itha Abimanyu," tulis Kompasiana.
Keberhasilannya menciptakan puisi  tentu saja karena kebersediaannya melakukan proses pemusatan (konsentrasi), pendalaman (intensifikasi) terhadap ide, persoalan, dan peristiwa yang dihadapinya. Kemudian memadukannya dengan pilihan kata (diksi) yang mampu menggugah angan, daya bayang pembaca.
Meskipun demikian, puisi-puisi Neng Itha, dari sisi indeksikal mengarah ke kesunyian, kerapuhan, dan kesia-sian.
Perempuan di Ujung SunyiÂ
Yang aku temui di ujung sunyi ituÂ
Engkau, seorang perempuan berpita unguÂ
Di kepalamu kemboja tidak pernah lama berhenti
Kutipan awal puisi "Perempuan di Ujung Sunyi" menunjukan ruang hampa. Kata sunyi mengacu kepada suasana hening, senyap. Kemboja (kamboja) acapkali dikaitkan dengan kematian, perpisahan, dan kerapuhan. Sedangkan warna ungu, tidak dapat dilepaskan dari kesendirian, duka cita, serta kehilangan.
Jadi, tokoh aku liris (perempuan), dibayangkan berada dalam situasi di ambang kehancuran, kesedihan, Â kehilangan.
Kutipan berikutnya memperjelas suasana kesedihan tak berujung itu.
Engkau yang kerap berkata tidak mengapaÂ
Meski sibuk membenarkan letak doaÂ
Aku selalu menyaksikan segala tabahÂ
Saling berpeluk di sekitar guratan-guratan wajahÂ
Manakala senja menggiring awan-awanÂ
Di matamu hanya nyaris hujan ...Â
Tetapi duka yang jatuh di sebuah cermin kayuÂ
Tak mampu meredam rapuhnya aku
Dalam kehancuran, tokoh aku liris tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada pilihan lain kecuali bersembunyi di kekuatan doa.
Suasana yang nyaris sama, terasa dalam puisi "Kemarin, di Sela Rintik Hujan". Kata lara, debu, sepi, menjadikan suasana puisi terasa kelam, ada kesedihan mendalam, keterasingan, kesia-siaan, dan kehampaan.
Kemarin, di Sela Rintik HujanÂ
Apa kabarmu, tuan?Â
Lama sudah tidak memorak-porandakanÂ
Sampai aku heranÂ
Masihkah egomu menawan?Â
Mungkin engkau lupaÂ
Terakhir menyimpan lara di manaÂ
Atau masih mencariÂ
Sesuatu yang takkan kembaliÂ
Sungguh! Ini hanyalah sebuah gaduhÂ
Kangen berseteru memulai lagi perang itu Duniaku sepi tanpa kamuÂ
Sampai aku menari-nari bersama debuÂ
Memakamkan mimpiÂ
Setelah hati kalah oleh sepiÂ
Dimenangkan emosiÂ
Lalu, tuan pergi Seperti biasa, entah ke mana Tinggalkan luka yang masih samaÂ
Tahukah?Â
Kemarin ...Â
Gerimis membatinÂ
Rintiknya turun tragisÂ
Menangis, dilumat waktu nan sadisÂ
Engkau peduli?Â
Ah! Kurasa tidak sama sekaliÂ
Puisi di atas berhasil mengabstraksikan kerinduan yang berkelindan dengan rasa sakit, pengkhianatan, dan kekosongan karena kepergian seseorang  tanpa empati. Begitulah, rasa cinta dan luka bercampur menjadi satu.
Dalam puisi ini, hujan melambangkan penderitaan dan  frasa waktu yang menggerus luka, memunculkan suasana syahdu. Sedangkan luka jiwa tidak tersembuhkan, terwakili frasa dilumat waktu nan sadis.
Secara keseluruhan, puisi "Kemarin, di Sela Rintik Hujan" menggambarkan  kerinduan dan luka batin  tokoh aku liris karena ketimpangan hubungan tokoh-tokoh di dalamnya.
Berbeda dengan dua puisi di atas, maka dalam puisi  "Mengeja Cinta", eksistensi cinta tidak dihadirkan sebagai dunia yang rapuh, menyakitkan, apalagi layak diziarahi.
Mengeja CintaÂ
Aku dihadapkan pada sebuah kataÂ
Yang bingung ...Â
Lalu keheningan perlahan turunÂ
Di ujung-ujung malamÂ
Maka lekas, kuseru namamu berulangÂ
Sampai kemudian engkau datangÂ
Menuntunku mengejanyaÂ
Dan terbaca, "Cinta."Â
Ah, hampir saja tak percayaÂ
Telah sampaikah aku kepada bahagia?Â
Engkau selanjutnya bertanya,Â
"Kenapa kita tak sekalian berkisah?"Â
Di tempat itu angin melindapÂ
Aku tergugu-gugu; bisuÂ
Tetapi bulan, malah jatuh di mataku
Dalam puisi tersebut, cinta didekonstruksi sedemikian rupa, sehingga menjadi sakral dan kompleks- dicapai melalui  perenungan, perjalanan batin, bahkan bulan jatuh di mataku, memberi tanda adanya perasaan kagum terhadap kehadiran cinta.
Kata keheningan dan malam yang dipilih penyair, bukan berkaitan dengan kesendirian, apalagi ketakutan. Keheningan dapat dimaknai sebagai perenungan mendalam, sedangkan kata malam melambangkan ketenangan perjalanan batin.
Pemahaman menyeluruh terhadap puisi "Mengeja Cinta" memperlihatkan keelokan cinta dalam keheningan spiritual dan kematangan emosional.
Meskipun begitu, puisi-puisi Itha Abimanyu tidak sekadar  berbicara soal cinta, seperti penilaian Kompasiana, puisinya jugamenyuarakan keprihatinan terhadap berbagai permasalahan sosial yang terjadi di sekitar, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI