Secara keseluruhan, puisi "Kemarin, di Sela Rintik Hujan" menggambarkan  kerinduan dan luka batin  tokoh aku liris karena ketimpangan hubungan tokoh-tokoh di dalamnya.
Berbeda dengan dua puisi di atas, maka dalam puisi  "Mengeja Cinta", eksistensi cinta tidak dihadirkan sebagai dunia yang rapuh, menyakitkan, apalagi layak diziarahi.
Mengeja CintaÂ
Aku dihadapkan pada sebuah kataÂ
Yang bingung ...Â
Lalu keheningan perlahan turunÂ
Di ujung-ujung malamÂ
Maka lekas, kuseru namamu berulangÂ
Sampai kemudian engkau datangÂ
Menuntunku mengejanyaÂ
Dan terbaca, "Cinta."Â
Ah, hampir saja tak percayaÂ
Telah sampaikah aku kepada bahagia?Â
Engkau selanjutnya bertanya,Â
"Kenapa kita tak sekalian berkisah?"Â
Di tempat itu angin melindapÂ
Aku tergugu-gugu; bisuÂ
Tetapi bulan, malah jatuh di mataku
Dalam puisi tersebut, cinta didekonstruksi sedemikian rupa, sehingga menjadi sakral dan kompleks- dicapai melalui  perenungan, perjalanan batin, bahkan bulan jatuh di mataku, memberi tanda adanya perasaan kagum terhadap kehadiran cinta.
Kata keheningan dan malam yang dipilih penyair, bukan berkaitan dengan kesendirian, apalagi ketakutan. Keheningan dapat dimaknai sebagai perenungan mendalam, sedangkan kata malam melambangkan ketenangan perjalanan batin.
Pemahaman menyeluruh terhadap puisi "Mengeja Cinta" memperlihatkan keelokan cinta dalam keheningan spiritual dan kematangan emosional.
Meskipun begitu, puisi-puisi Itha Abimanyu tidak sekadar  berbicara soal cinta, seperti penilaian Kompasiana, puisinya jugamenyuarakan keprihatinan terhadap berbagai permasalahan sosial yang terjadi di sekitar, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI