Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Bersama Puisi, Terbang ke Dimensi Lain

25 Januari 2025   12:09 Diperbarui: 25 Januari 2025   12:09 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok penyair/Foto: FB Itha Abimanyu

"Ada nuansa gelap yang kerap ditawarkan Itha Abimanyu kepada pembacanya. Tetapi, dari sana justru semakin kita dapat keseruannya tiap menyelami puisi-puisi Itha Abimanyu," tulis Kompasiana.

Mencari inspirasi/Foto: FB Itha Abimanyu
Mencari inspirasi/Foto: FB Itha Abimanyu

Keberhasilannya menciptakan puisi  tentu saja karena kebersediaannya melakukan proses pemusatan (konsentrasi), pendalaman (intensifikasi) terhadap ide, persoalan, dan peristiwa yang dihadapinya. Kemudian memadukannya dengan pilihan kata (diksi) yang mampu menggugah angan, daya bayang pembaca.

Meskipun demikian, puisi-puisi Neng Itha, dari sisi indeksikal mengarah ke kesunyian, kerapuhan, dan kesia-sian.

Perempuan di Ujung Sunyi 

Yang aku temui di ujung sunyi itu 
Engkau, seorang perempuan berpita ungu 
Di kepalamu kemboja tidak pernah lama berhenti

Kutipan awal puisi "Perempuan di Ujung Sunyi" menunjukan ruang hampa. Kata sunyi mengacu kepada suasana hening, senyap. Kemboja (kamboja) acapkali dikaitkan dengan kematian, perpisahan, dan kerapuhan. Sedangkan warna ungu, tidak dapat dilepaskan dari kesendirian, duka cita, serta kehilangan.

Jadi, tokoh aku liris (perempuan), dibayangkan berada dalam situasi di ambang kehancuran, kesedihan,  kehilangan.

Kutipan berikutnya memperjelas suasana kesedihan tak berujung itu.

Engkau yang kerap berkata tidak mengapa 
Meski sibuk membenarkan letak doa 
Aku selalu menyaksikan segala tabah 
Saling berpeluk di sekitar guratan-guratan wajah 
Manakala senja menggiring awan-awan 
Di matamu hanya nyaris hujan ... 
Tetapi duka yang jatuh di sebuah cermin kayu 
Tak mampu meredam rapuhnya aku

Dalam kehancuran, tokoh aku liris tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada pilihan lain kecuali bersembunyi di kekuatan doa.

Suasana yang nyaris sama, terasa dalam puisi "Kemarin, di Sela Rintik Hujan". Kata lara, debu, sepi, menjadikan suasana puisi terasa kelam, ada kesedihan mendalam, keterasingan, kesia-siaan, dan kehampaan.

Kemarin, di Sela Rintik Hujan 

Apa kabarmu, tuan? 
Lama sudah tidak memorak-porandakan 
Sampai aku heran 
Masihkah egomu menawan? 

Mungkin engkau lupa 
Terakhir menyimpan lara di mana 
Atau masih mencari 
Sesuatu yang takkan kembali 


Sungguh! Ini hanyalah sebuah gaduh 
Kangen berseteru memulai lagi perang itu Duniaku sepi tanpa kamu 
Sampai aku menari-nari bersama debu 
Memakamkan mimpi 
Setelah hati kalah oleh sepi 
Dimenangkan emosi 


Lalu, tuan pergi Seperti biasa, entah ke mana Tinggalkan luka yang masih sama 
Tahukah? 

Kemarin ... 
Gerimis membatin 
Rintiknya turun tragis 
Menangis, dilumat waktu nan sadis 
Engkau peduli? 
Ah! Kurasa tidak sama sekali 

Puisi di atas berhasil mengabstraksikan kerinduan yang berkelindan dengan rasa sakit, pengkhianatan, dan kekosongan karena kepergian seseorang   tanpa empati. Begitulah, rasa cinta dan luka bercampur menjadi satu.

Dalam puisi ini, hujan melambangkan penderitaan dan  frasa waktu yang menggerus luka, memunculkan suasana syahdu. Sedangkan luka jiwa tidak tersembuhkan, terwakili frasa dilumat waktu nan sadis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun