"Ada nuansa gelap yang kerap ditawarkan Itha Abimanyu kepada pembacanya. Tetapi, dari sana justru semakin kita dapat keseruannya tiap menyelami puisi-puisi Itha Abimanyu," tulis Kompasiana.
Keberhasilannya menciptakan puisi  tentu saja karena kebersediaannya melakukan proses pemusatan (konsentrasi), pendalaman (intensifikasi) terhadap ide, persoalan, dan peristiwa yang dihadapinya. Kemudian memadukannya dengan pilihan kata (diksi) yang mampu menggugah angan, daya bayang pembaca.
Meskipun demikian, puisi-puisi Neng Itha, dari sisi indeksikal mengarah ke kesunyian, kerapuhan, dan kesia-sian.
Perempuan di Ujung SunyiÂ
Yang aku temui di ujung sunyi ituÂ
Engkau, seorang perempuan berpita unguÂ
Di kepalamu kemboja tidak pernah lama berhenti
Kutipan awal puisi "Perempuan di Ujung Sunyi" menunjukan ruang hampa. Kata sunyi mengacu kepada suasana hening, senyap. Kemboja (kamboja) acapkali dikaitkan dengan kematian, perpisahan, dan kerapuhan. Sedangkan warna ungu, tidak dapat dilepaskan dari kesendirian, duka cita, serta kehilangan.
Jadi, tokoh aku liris (perempuan), dibayangkan berada dalam situasi di ambang kehancuran, kesedihan, Â kehilangan.
Kutipan berikutnya memperjelas suasana kesedihan tak berujung itu.
Engkau yang kerap berkata tidak mengapaÂ
Meski sibuk membenarkan letak doaÂ
Aku selalu menyaksikan segala tabahÂ
Saling berpeluk di sekitar guratan-guratan wajahÂ
Manakala senja menggiring awan-awanÂ
Di matamu hanya nyaris hujan ...Â
Tetapi duka yang jatuh di sebuah cermin kayuÂ
Tak mampu meredam rapuhnya aku
Dalam kehancuran, tokoh aku liris tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada pilihan lain kecuali bersembunyi di kekuatan doa.
Suasana yang nyaris sama, terasa dalam puisi "Kemarin, di Sela Rintik Hujan". Kata lara, debu, sepi, menjadikan suasana puisi terasa kelam, ada kesedihan mendalam, keterasingan, kesia-siaan, dan kehampaan.
Kemarin, di Sela Rintik HujanÂ
Apa kabarmu, tuan?Â
Lama sudah tidak memorak-porandakanÂ
Sampai aku heranÂ
Masihkah egomu menawan?Â
Mungkin engkau lupaÂ
Terakhir menyimpan lara di manaÂ
Atau masih mencariÂ
Sesuatu yang takkan kembaliÂ
Sungguh! Ini hanyalah sebuah gaduhÂ
Kangen berseteru memulai lagi perang itu Duniaku sepi tanpa kamuÂ
Sampai aku menari-nari bersama debuÂ
Memakamkan mimpiÂ
Setelah hati kalah oleh sepiÂ
Dimenangkan emosiÂ
Lalu, tuan pergi Seperti biasa, entah ke mana Tinggalkan luka yang masih samaÂ
Tahukah?Â
Kemarin ...Â
Gerimis membatinÂ
Rintiknya turun tragisÂ
Menangis, dilumat waktu nan sadisÂ
Engkau peduli?Â
Ah! Kurasa tidak sama sekaliÂ
Puisi di atas berhasil mengabstraksikan kerinduan yang berkelindan dengan rasa sakit, pengkhianatan, dan kekosongan karena kepergian seseorang  tanpa empati. Begitulah, rasa cinta dan luka bercampur menjadi satu.
Dalam puisi ini, hujan melambangkan penderitaan dan  frasa waktu yang menggerus luka, memunculkan suasana syahdu. Sedangkan luka jiwa tidak tersembuhkan, terwakili frasa dilumat waktu nan sadis.