Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Naskah Drama (yang) Terpinggirkan

17 Januari 2025   21:02 Diperbarui: 17 Januari 2025   22:56 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Naskah drama koleksi Omah Anpiran/Foto: Hermard

Pertanyaan sederhana yang layak diajukan adalah: dari satu dua biji bahkan puluhan atau ratusan koleksi buku yang Kompasianer miliki, apakah di antaranya ada buku sastra berupa naskah drama? Mengapa karya sastra, kalaupun ada, yang kita koleksi sebatas antologi puisi, cerita pendek, dan novel? Apakah naskah drama memang benar-benar "terpinggirkan" dalam kehidupan sastra? 

Bukankah nama besar seperti Putu Wijaya, Danarto, Montinggo Busje, Arifin C Noer, Asrul Sani, Rendra, (seharusnya) merupakan magnet yang mampu menarik perhatian pembaca atas naskah-naskah pementasan teater yang mereka ciptakan?

Rentetan pertanyaan itu jelas akan menggiring kita kedalam situasi "ngeri-ngeri sedap" kehidupan sastra, khususnya prosa (drama) Indonesia.

Meskipun saya bukan sutradara pertunjukan, apalagi aktor teater, tetapi di almari buku Omah Ampiran tersimpan beberapa buku naskah drama yang cukup penting dan menarik, setidaknya menurut anggapan Ibu Negara Omah Ampiran.

Dari Senja dengan Dua Kematian sampai Palaran Gandrik

Beberapa judul naskah drama (dalam wujud buku terbitan) yang berjajar rapi dalam almari buku Omah Ampiran adalah Senja dengan Dua Kematian (Kirdjomuljo), Mahkamah (Asrul Sani), Sumur Tanpa Dasar (Arifin C Noer), Malam Jahanam (Motinggo Busye), Lima Drama (B. Soelarto), Menyublim Hingga Rahim (Indra Tranggono, editor), dan Palaran Lima Lakon Avant-Gandrik (Heru Kesawa Murti).

Mencari keadilan/Foto: Hermard
Mencari keadilan/Foto: Hermard
Ada dua judul naskah drama karya Kirjomuljo yang nyaris sama, yaitu Senja dengan Dua Kematian, dan Senja dengan Dua Kelelawar. Keduanya bercerita mengenai nasib wong cilik dalam menghadapi kehidupan, percintaan, dan dendam.

Naskah pertama bercerita mengenai bagaimana Kardiman, seorang ayah, melakukan kesalahan dengan memperdayai kekasih Karonowo, sahabatnya sendiri. Karonowo membalas dendam dengan merudapaksa Wijasti, puteri Kardiman. Kenyataan ini membuat Kardiman bunuh diri, menyesali perbuatannya.

Di sisi lain, naskah Senja dengan Dua Kelelawar, lakon yang ditulis Kirdjomuljo tahun 1950, mengisahkan bagaimana Ismiyati yang tidak bisa berpaling dari Suwarto, lelaki yang pernah hadir di masa lalunya dan tak pernah bisa lepas dari pikirannya.

Semenjak mereka sering menumpang kereta api yang sama (saat masih sekolah), ia jatuh cinta kepada Suwarto. Kenyataannya, Suwarto sudah memiliki kehidupan lain, hidup bahagia bersama Mursiwi, istrinya. 

Saat Mursiti tewas tertabrak kereta api, maka Ismiyati menjadi terduga penyebab kematian Mursiti.

Tetapi bagaimanapun juga kebenaran tetaplah sebuah kebenaran. Pada akhirnya terbongkarlah siapa sesungguhnya yang tega mengahabisi nyawa Mursiti.

Tidak lain adalah seorang pemuda misterius yang datang pada suatu senja, menanyakan rumah Mursiti. Pemuda itu adalah lelaki kekasih masa lalu Mursiti, sebelum ia menikah dengan Suwarto.

Alih media cerpen ke naskah lakon/Foto: Hermard
Alih media cerpen ke naskah lakon/Foto: Hermard
Buku drama lain yang menarik adalah Menyublim Hingga Rahim, Palaran Lima Lakon Avant-Gandrik, dan Ringsek. Buku Menyublim Hingga Rahim (Taman Budaya Yogyakarta, 2015), merupakan buku antologi naskah drama yang berasal dari teks cerita pendek. 

Alih media dilakukan karena keterbatasan naskah pentas, di samping mendorong terciptanya tradisi kreatif dalam dunia penulisan naskah lakon, dan ketersediaan banyak naskah lakon pendek untuk dipentaskan.

Naskah berasal dari Lomba Penulisan Naskah Lakon Berbasis Cerpen yang diselenggarakan Taman Budaya Yogyakarta pada tahun 2005. 

Lima karya yang termuat dalam antologi naskah drama adalah naskah lakon "Menyublim" (Bagus Sumartono) hasil adaptasi cerpen "Pispot" karya Hamsad Rangkuti, "Lelaki Ke 1.000 di Ranjangku" (Yan Wijaya) adaptasi cerpen "Lelaki Ke 1.000 di Ranjangku" karya Emha Ainun Nadjib, "Rahim" (Luh Arik Sariadi) hasil adaptasi cerpen "Rahim" karya Cok Sawitri 

Karya lainnya, "Primadona Wisma Pasar Daging" (Anton De Sumartana) hasil adaptasi cerpen "Lelaki Ke 1.000 di Ranjangku" karya Emha Ainun Nadjib, dan "Kang Sarpin Minta Dikebiri" (Ratih Kumala) adaptasi karya Kang "Sarpin Minta Dikebiri" karya Ahmad Tohari.

"Lomba ini secara kreatif mempertautkan proses penulisan cerpen dengan naskah lakon. Banyak ide penting- baik ide sosial maupun estetik- dalam cerpeb karya sastrawan Indonesia yang perku ditransformasikan ke dalam naskah lakon, dalam berbagai genre," tulis Indra Tranggono dalam catatan editor.

Selanjutnya pemerhati seni budaya itu berharap nilai-nilai penting yang terkandung dalam berbagai cerpen terkomunikasikan dan terinternalisasi secara lebih luas.

Wong cilik dan kekuasaan/Foto: Hermard
Wong cilik dan kekuasaan/Foto: Hermard
Buku Palaran: Lima Lakon Avant-Gandrik (Heru Kesawa Murti, Pustaka Gondho Suli, 2002) memuat naskah-naskah "terbaik" yang dipentaskan Teater Gandrik.

Dalam tulisan "Tradisi, Lelucon, dan Sastra Lakon Gandrik: Menghantar Sinden hingga Proyek", Bakdi Soemanto mencatat bahwa lima lakon yang disajikan menunjukkan jiwa zamannya. 

Lakon "Dhemit" dan "Orde Tabung" menyajikan kepiawaian teaterikal dan wawasan kecendikiaan yang matang.

"Dengan tenang, lakon Dhemit menghadirkan jagad lelembut yang menari-nari dan kesakitan karena ulah manusia. Lakon Orde Tabung memberikan peringatan tentang teknologi yang dimanipulasi oleh kekuasaan. Jagad Yogyakarta yang sebagian penduduk masih berpikir tradisional, ikut diserbu kekuatan baru yang namanya modernisme dalam wujud efisiensi dan efektivitas kekuasaan yang hadir dalam beraneka-ragam bentuknya," papar Bakdi.

Nasib Naskah Drama yang Tidak Baik-baik Saja

Meskipun ide cerita dan tema naskah drama sangat menarik, pertanyaannya, mengapa penerbitan naskah drama kurang populer atau tidak diminati?

Salah satu alasannya karena munculnya anggapan bahwa naskah drama "tidak pernah selesai" tanpa dipentaskan. 

Di sisi lain, sebagai pembaca naskah drama yang diterbitkan dalam bentuk buku, seorang pembaca biasa (bukan sutradara, aktor) tentu tidak mau bersusah payah membayangkan tata panggung, lighting, teknik keluar masuk pemain, maupun petunjuk lakuan pemain.

Alasan klasik lainnya karena segmentasi pembacanya terbatas dibandingkan penyuka genre lainnya, puisi, cerita pendek, atau novel.

"Dibandingkan membaca naskah drama, saya lebih suka menyaksikan pertunjukan secara langsung. Lebih mudah dinikmati, mengetahui kreativitas sutradara dan semua yang terlibat pementasn dalam alih media teks ke dunia panggung," jelas Ibu Negara Omah Ampiran, jebolan Fakultas Sastra UGM.

Mengapresiasi naskah drama tanpa menyaksikan pertunjukannya tentu saja seperti menggantang angin. Sebab, hakikat drama sepenuhnya ditentukan melalui pertunjukan. 

Konon, tanpa elemen visual dan auditori dari pertunjukan panggung, pembaca sulit menangkap esensi sesungguhnya dari drama tersebut. Di samping itu, pihak penerbit tidak melihat potensi komersial dari naskah-naskah drama. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun