Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Naskah Drama (yang) Terpinggirkan

17 Januari 2025   21:02 Diperbarui: 17 Januari 2025   22:56 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Naskah drama koleksi Omah Anpiran/Foto: Hermard

Lakon "Dhemit" dan "Orde Tabung" menyajikan kepiawaian teaterikal dan wawasan kecendikiaan yang matang.

"Dengan tenang, lakon Dhemit menghadirkan jagad lelembut yang menari-nari dan kesakitan karena ulah manusia. Lakon Orde Tabung memberikan peringatan tentang teknologi yang dimanipulasi oleh kekuasaan. Jagad Yogyakarta yang sebagian penduduk masih berpikir tradisional, ikut diserbu kekuatan baru yang namanya modernisme dalam wujud efisiensi dan efektivitas kekuasaan yang hadir dalam beraneka-ragam bentuknya," papar Bakdi.

Nasib Naskah Drama yang Tidak Baik-baik Saja

Meskipun ide cerita dan tema naskah drama sangat menarik, pertanyaannya, mengapa penerbitan naskah drama kurang populer atau tidak diminati?

Salah satu alasannya karena munculnya anggapan bahwa naskah drama "tidak pernah selesai" tanpa dipentaskan. 

Di sisi lain, sebagai pembaca naskah drama yang diterbitkan dalam bentuk buku, seorang pembaca biasa (bukan sutradara, aktor) tentu tidak mau bersusah payah membayangkan tata panggung, lighting, teknik keluar masuk pemain, maupun petunjuk lakuan pemain.

Alasan klasik lainnya karena segmentasi pembacanya terbatas dibandingkan penyuka genre lainnya, puisi, cerita pendek, atau novel.

"Dibandingkan membaca naskah drama, saya lebih suka menyaksikan pertunjukan secara langsung. Lebih mudah dinikmati, mengetahui kreativitas sutradara dan semua yang terlibat pementasn dalam alih media teks ke dunia panggung," jelas Ibu Negara Omah Ampiran, jebolan Fakultas Sastra UGM.

Mengapresiasi naskah drama tanpa menyaksikan pertunjukannya tentu saja seperti menggantang angin. Sebab, hakikat drama sepenuhnya ditentukan melalui pertunjukan. 

Konon, tanpa elemen visual dan auditori dari pertunjukan panggung, pembaca sulit menangkap esensi sesungguhnya dari drama tersebut. Di samping itu, pihak penerbit tidak melihat potensi komersial dari naskah-naskah drama. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun